Oleh: Umar Shahab, MA
Jangan sampai jika terjadi
pertengkaran atau perselisihan mengenai keuangan diantara kamu, kamu angkat
persoalannya kepada para fasik itu. Pilihlah seseorang yang mengetahui urusan
yang halal dan haram diantara kamu sebagai pemutus perkara, karena aku telah
tetapkan ia sebagai qadi, hakim bagimu. Aku peringatkan, jangan sampai ada
diantara kamu yang mengangkat perselisihannya kepada penguasa yang zalim.
Pernyataan di atas dikeluarkan oleh
Imam Ja’far Shadiq, imam ke enam dalam keyakinan Syiah Itsna-’Asyariyah atau
Syiah Dua Belas Imam. Dalam tradisi fiqih Syiah, Imam Ja’far Shadiq dapat
disebut sebagai bapak fiqih Syiah, karena sebagian besar masalah fiqih yang
dibahas dalam fiqih Syiah bersumber atau mencerminkan “pandangan-pandangannya”.
Imam Ja’far Shadiq terkenal sebagai orang yang paling alim pada masanya. Imam
Abu Hanifah pernah memujinya, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih ahli
dalam urusan agama selain Ja’far Ibn Muhammad.” Maa ra’aitu afqah min Ja’far
Ibn Muhammad. Demikian pula Imam Malik bin Anas. Dia berkata, “Sungguh mata
tidak pernah melihat, telinga tidak pernah mendengar, dan tidak pernah
terlintas di benak manusia ada seorang yang lebih afdal dari Ja’far Ibn
Muhammad, dari segi ilmu, ibadah, dan kewara’an.”
Maka tidak heran jika beberapa
penulis sejarah, seperti Hafidz Abu Abbas Ahmad Ibn Uqdah (wafat tahun 320 H)
dan Syaikh Najm ad-Din dalam kitabnya al-Mu’tabar mencatat tidak kurang
dari empat ribu ulama yang pernah belajar kepada Imam Ja’far Shadiq. Karena
itulah maka fiqiih Syiah lebih populer, terutama di kalangan non-Syiah, dengan
sebutan: Fiqih Imam Ja’far Shadiq, atau Fiqih Ja’fari, atau ada
juga yang menyebutnya Mazhab Ja’dari.
Akan tetap, perlu ditegaskan di sini
bahwa pemakaian istilah Fiqih Ja’fari atau Mazhab Ja’fari bagi
fiqih Syiah tidak sama dengan pemakaian istilah Mazhab Syafi’i atau Mazhab
Hanafi, misalnya, dalam fiqih Sunni. Kedua nama Mazhab Sunni itu menunjuk
pada kumpulan pendapat atau hasil ijtihad yang dilakukan oleh kedua imam mazhab
tersebut. Tapi tidak demikian dengan istilah Mazhab Ja’fari. Istilah itu
sama sekali tidak mencerminkan kumpulan pendapat atau hasil ijtihad Imam Ja’far
Shadiq. Sebab, dalam pandangan Syiah, Imam Ja’far Shadiq, demikian pula
kesebelas imam lainnya, yaitu (berturut dari imam pertama sampai imam terakhir)
Ali Ibn Abi Thalib, Hasan Ibn Ali, Husain Ibn Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad
Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Kadzim, Ali Ridha, Muhammad Jawad, Ali Hadi, Hasan
Askari, dan Muhammad Mahdi, bukan seorang mujtahid, tapi imam yang
memiliki otoritas penetapan atau pembuatan hukum, tasyri’ al-hukm.
Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, saya merasa perlu menjelaskan masalah ini lebih
lanjut.
Istilah imamah (dari
kata itu muncul istilah imam) dalam Syiah tidak sama dengan istilah khilafah
atau imarah—masing-masing melahirkan kata khilafah dan amirul
mukminin—dalam Sunni. Istilah khilafah dan imarah lebih
bersifat politis. Ia dimaksudkan bagi seseorang yang memangku jabatan kepala
negara dalam sistem “politik Islam”. Sementara istilah imamah, dalam
teologi Syiah, tidak harus identik dengan jabatan kepala negara. Imam adalah
seseorang yang diserahi tugas meneruskan risalah Islam setelah Nabi Muhammad
saw. Karena fungsinya yang sama dengan Nabi Muhammad saw, maka imam bersifat
maksum. Ia tidak pernah melakukan kesalahan atau dosa. Semua kata dan
perilakunya mencerminkan kebenaran. Karena itu, sebagaimana Rasul, semua kata
dan perilaku imam adalah hujjah, mesti diikuti oleh setiap orang yang
beriman padanya. Dengan kata lain, fungsi kata dan perilaku imam, dalam
pandangan Syiah, sama dengan fungsi kata dan perilaku Nabi saw. Bedanya, Rasul
saw mendapatkan wahyu langsung dari Allah SWT, sedangkan imam tidak. Imam
mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah berupa ilham atau firasah.
Makanya, sekalipun Abu Bakar Shiddiq ra, Umar Ibn Khathab ra, dan Utsman Ibn
Affan ra adalah penguasa-penguasa Islam pada zamannya, tidak menjadi halangan
bagi Syiah untuk meyakini Ali Ibn Abi Thalib sebagai imam yang wajibut-tha’ah.
Posisi keimamahan Ali tidak otomatis batal dengan didudukinya bangku
kekhilafahan oleh tiga sahabat besar Nabi saw tersebut.
Karena kedudukan imam yang seperti
itu, maka dalam menjalankan tugas keimamahannya, para murid imam-imam dua belas
itu senantiasa mencatat apa saja yang mereka terima atau lihat dari Sang Imam.
seperti yang dilakukan para sahabat terhadap kata dan perilaku Nabi saw. Akan
tetap, karena hanya Imam Ja’far Shadiq sajalah yang paling banyak
mendapat kesempatan untuk membimbing umat—para imam yang lain, jika tidak kena
tahanan rumah, mereka dibatasai berhubungan dengan kaum Muslim, sedangkan pada
masa Imam Ja’fari Shadiq, para penguasa Bani Umayah sibuk menghadapi berbagai
pemberontakan dan Bani Abbasiyah, yang muncul sesudahnya, lebih banyak
memusatkan perhatian untuk memperkuat kekuasaan mereka yang masih baru—maka
kumpulan catatan tentang kata dan perilaku imam itu didominasi oleh
pernyataan-pernyataan Imam Ja’far Shadiq.
Pada masa imamah itu
(berakhir dengan ghaibnya Imam Mahdi pada tahun 329 H), dalam dunia Syiah
praktis tidak ada kehidupan ijtihad, seperti yang dikenal dalam dunia Sunni.
Sebab, seperti yang telah disinggung di atas, para imam masih terus membimbing
pengikutnya. Orang-orang Syiah tidak perlu harus bersusah payah mencari jawaban
sendiri. Para imam selalu siap menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan
yang mereka hadapi. Akan tetapi, segera setelah berakhirnya masa imamah,
hiruk pikuk ijtihad seperti yang terjadi dalam dunia Sunni mulai meruak ke
dunia Syiah. Maka muncullah tokoh-tokoh seperti Kulaini, Syaikh Shaduq, Ibn
‘Aqil, Junaid, Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, Syaikh Thusi, ‘Allamah Hilli, dan
sebagainya. Kendati tumbuh lebih terlambat, akan tetapi praktik ijtihad di duni
Syiah boleh dikatakan jauh lebih berkembang ketimbang di dunia Sunni. Sebab,
pintu ijtihad tidak pernah ditutup dalam dunia Syiah, sementara praktis sejak
abad keenam hijriah, dunia Sunni mengharamkan ijtihad.
Ulama-ulama Syiah sampai kini terus
dan dengan bebas mempraktikan ijtihad. Teori-teori baruy, sesuai dengan
perkembangan zaman dan pemikiran, selalu muncul. Akhir-akhir ini, misalnya,
dunia dikejutkan oleh teori politik wilayat al-faqih yang dikembangkan
Imam Khomeini sebagai sistem politik alternatif. Terlepas dari setuju atau
tidak setuju terhadap teori ini, tapi munculnya teori brilian ini sendiri, dari
orang yang dipandang oleh kaum “intelektual” sebagai kaum “tradisional”,
menunjukkan adanya dinamika dan perkembangan yang pesat dalam dunia Syiah.
Bahkan harus diakui, perkembangan pemikiran fiqih Syiah dewasa ini, ketika
ulama-ulama Syiah mendapatkan kebebasan dan kesempatan langsung dan lebih besar
setelah mereka memegang pucuk pimpinan pemerintahan di Iran, sangat jauh
melompat ke depan dengan sebelumnya. Hampir dapat dipastikan bahwa dari
ulama-ulama Syiah ini akan terus muncul gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran
yang cemerlang. Ini tidak berarti bahwa di dunia Sunni tidak akan muncul
gagasan-gagasan baru seperti yang ada di dunia Syiah. Selama ulama-ulama kita
mau dengan serius menangani institusi ijtihad, tidak “malu-malu”, dan mau
terbuka, seperti yang ditunjukkan ulama-ulama Syiah, saya kira peluang tersebut
sama terbuka bagi kalangan Sunni.
Menarik, bahwa sekalipun di satu
sisi pintu ijtihad terbuka selebar-lebarnya, di mana saja boleh berijtihad asal
memenuhi syarat ijtihad, di sisi lain ulama-ulama Syiah mewajibkan orang awam
bertaklid atau merujuk—beberapa kawan lebih senang menggunakan istilah itiba’
ketimbang taklid dengan alasan adanya konotasi negatif pada istilah taklid
pada sebagian pihak, padahal maksudnya sama saja—dalam urusan agama mereka
kepada seorang mujtahid yang memenuhi syarat, yang antara lain: seseorang yang
masih hidup, diakui kemampuan dan kredibilitas ijtihadnya, adil, ibadah, takwa,
wara’, istiqamah, tidak cinta dunia, dan tidak melakukan perbuatan dosa, besar
maupun kecil. Syarat taklid kepada mujtahid hidup ini menuntut adanya
orang-orang atau institusi yang terus-menerus menangani kebutuhan taklid ini.
Dari sini lalu lahirlah apa yang kemudian populer dengan istilah marja’iyyah.
Ulama-ulama yang dipilih oleh masyarakat sebagai tempat bertaklid atau ber-itiba’
ini disebut marja’.
Secara tradisional, para marja’
ini, langsung atau tidak langsung, memiliki seperangkat tuntunan kehidupan
beragama bagi para penganutnya, yang merupakan hasil ijtihadnya para pelbagai
sisi kehidupan, dari persoalan ibadah mahdah sampai persoalan politik.
Seperangkat tuntutan beragama ini disebut risalah amaliah. Para mukalid
atau penganut pandangan sang marja’, biasanya, selain bertanya langsung
kepada sang marja’ atau wakilnya dalam urusan agama yang mereka hadapi,
akan merujuk ke risalah amaliah yang dihimpun sang marja’.
Buku yang ada di hadapan Anda ini
bukan sebuah risalah amaliah. Penulisnya pun, Ayatullah Syaikh Muhammad
Jawad Mughniyah, sekalipun seorang yang diakui kredibilitasnya dalam ijtihad
oleh para pembesar Syiah, bukan seorang marja’. Tapi dia berusaha
mengantarkan Anda, melalui argumentasi-argumentasi sederhana yang
dikemukakannya, untuk mengetahui fiqih Syiah lebih jauh. Agak sulit mencari
kitab fiqih Syiah yang lengkap tapi denga argumentasi sederhana seperti yang
ditunjukkan oleh penulis kitab ini. Umumnya kitab-kitab fiqih Syiah yang
bersifat argumentatif seperti ini masuk dalam kategori mutawwalat,
kitab-kitab besar. Karena itulah kitab ini terasa amat penting. Tidak
hanya bagi orang-orang di luar Syiah yang ingin mengetahui fiqih Syiah, tapi
juga bagi orang-orang Syiah sendiri. Saya yakin Anda juga sepakat dengan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar