2.1. Hubungan Agama dan Negara
Agama adalah bersumber pada
wahyu Tuhan yang sifatnya mutlah, sedangkan Negara adalah merupakan
suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu, sifat
dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara. Sehingga
negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam
hubungan dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.[1]
Menurut kodratnya, manusia
dalam hidupnya selalu mengakui adanya kekuatan yang maha dahsyat di luar
dirinya. Manusia selalu merasa bahwa di luar dirinya terdapat suatu
kekuatan yang tidak mungkin ditandingi oleh kekuatan manusia dan alam
sekitarnya. Pengakuan seperti ini, biasa disebut dengan beragama.
Agama dapat dikategorikan
dalam dua macam, yaitu agama samawi dan agama bukan samawi atau yang
sering disebut dengan agama ardli. Agama Islam, Kristen, dan Yahudi
adalah agama-agama samawi, yaitu agama yang diyakini sebagai agama yang
diwahyukan Tuhan kepada nabi atau rasul-Nya untuk disampaikan kepada
umatnya. Dengan kata lain, agama-agama itu adalah agama yang bukan
diciptakan oleh manusia. Sedangkan agama-agama seperti Hindu, Budha, dan
Konghucu adalah agama yang tidak diturunkan oleh Tuhan kepada nabi atau
rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya, tapi agama-agama itu adalah
ciptaan manusia. Agama-agama yang disebutkan terakhir itu adalah contoh
dari agama bukan samawi, atau agama ardli.
Agama samawi diyakini sebagai
agama yang diwahyukan oleh Tuhan yang secara metaforis dapat dikatakan
diturunkan dari langit. Oleh karena itu disebut agama samawi. Samawi
berasal dari kata sama' yang berarti langit. Sedangkan ardli, secara generik berarti agama bumi. Ardl, adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti bumi. Agama ardli adalah agama yang tidak dituqunkan dari langit, tapi timbul dari pemikiran manusia dari hasil perenungan yang mendalam.
Karena salah satu unsur agama
adalah kitab suci yang disebut kitab samawi pula. Kitab-kitab suci
seperti Alquran, Injil, Taurat, dan Zabur adalah kitab-kitab samawi,
karena diwahyukan oleh Tuhan kepada para rasul atau nabi yang
menyebarkan kitab-kitab itu. Sedangkan kitab-kitab suci seperti Weda
dalam agama Hindu, Tripitaka dalam agama Budha, adalah kitab yang
tidak diwahyukan Tuhan kepada para pembawa dan penyebar agama-agama itu,
tetapi dibuat atau dikarang oleh pendiri agama-agama itu.
Manusia beragama karena
mereka memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan
petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat.
Dengan agama, manusia juga bisa mendapatkan nilai-nilai moral yang
universal, dan hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan akalnya semata.[2]
Kebenaran universal adalah
diakui oleh umat manusia dari zaman purbakala sampai kepada zaman modern
dewasa ini, walaupun bentuk dan isinya tidak sama, dan pada setiap
zaman itu terdapat pula sementara orang yang tidak mengakui.[3]
Perlu disadari bahwa manusia
sebagai warga negara, adalah juga makhluk sosial dan makhluk Tuhan.
Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebebasan untuk memenuhi dan
memanifestasikan kodrat kemanusiaannya. Namun, sebagai makhluk Tuhan,
manusia juga mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada-Nya dalam bentuk
penyembahan atau ibadah yang diajarkan oleh agama ajau keyakinan yang
dianutnya. Hal-hal yang berkaitan dengan negara adalah manifestasi dari
kesepakatan manusia. Sedangkan hubungan dengan Tuhan yang tertuang dalam
ajaran agama adalah wahyu dari Tuhan. Oleh karena itu ada benang emas
yang menghubungkan antara agama dan negara.
Berdasarkan uraian di atas,
konsep hubungan negara dan agama sangat ditentukan oleh dasar ontologis
manusia masing-masing. Keyakinan manusia sangat memengaruhi konsep
hubungan agama dan negara dalam kehidupan manusia. Berikut diuraikan
beberapa contoh perbedaan konsep hubungan agama dan negara menurut
beberapa aliran atau paham.
2.1.a. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham-Paham, yaitu:
1. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Teokrasi
2. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Sekuler
3. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Komunisme
4. Hubungan Agama dan Negara menurut Islam.
1. Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Teokrasi.
Dalam paham teokrasi,
hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut
paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata
kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah
Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham
teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan.
2. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Sekuler
Selain paham teokrasi,
terdapat pula paham sekuler dalam praktik pemerintahan dalam kaitan
hubungan agama dan negara. Paham sekuler memisahkan dan membedakan
antara agama dan negara. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan antara
sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, negara adalah urusan
hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama
adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham
sekuler, tidak dapat disatukan.[4]
3. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Komunisme
Manusia adalah dunia manusia
sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Sedangkan agama
dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama adalah
keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu agama harus ditekan, bahkan
dilarang. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi, karena
manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.
4. Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam
Dalam Islam, hubungan agama
menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini di antara
para ahli. Bahkan, menurut Azyumardi Azra (1996:1), perdebatan itu
telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa
ini.
Masih menurut Azyumardi,
ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami
oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Dalam bahasa lain, hubungan antara agama (din) dan politik (siyasah) di kalangan umat Islam, terlebih-lebih di kalangan Sunni yang banyak diatur oleh masyarakat Indonesia, pada dasarnya bersifat ambigous a
au ambivalen. Hal demikian itu, karena ulama Sunni sering mengatakan
bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan
negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran konseptual
maupun tataran praktis dalam politik, sebab seperti yang dilihat
terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik.
Sumber dari hubungan yang canggung di atas, kitab, berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam
pengertian terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan bidang-bidang
ilahiah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan (siyasah) pada umumnya merupakan bidang prafon atau keduniaan.
Selain hal-hal yang
disebutkan di atas, kitab suci Alquran dan hadis tampaknya juga
merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab
suci sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang
berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia
dan akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh
kalangan para ahli.[5]
2.1.b. Kebijakan Politik Tentang Agama
Di masa pemerintahan Orde
Lama, Presiden Soekarno ingin memisahkan agama dan negara. Agama harus
berdiri sendiri, dan negara tidak usah dikaitkan dengan negara. Pendapat
Soekarno itu diilhami oleh pengalaman Mustofa Kamal Ataturk di Turki
dengan ajaran sekulerisasinya. Meskipun demikian, pemerintahan Soekarno,
seperti yang dilihat, bagaimanapun tetap mengurus soal-soal yang
berkaitan dengan agama. Menurut Faisal Ismail (1999 : 35-36) Soekarno
tidak ingin memisahkan secara radikal antara negara dan agama, karena
agama dalam pandangan politiknya tetap mempunyai peran dalam negara.
Di masa Orde Lama terjadi
perdebatan yang amat tajam antara Soekarno, yang manamakan dirinya
sebagai kelompok nasionalis, dan kelompok M. Natsir, yang menyebut
dirinya sebagai modernis. Kelompok Natsir berpendapat, bahwa nilai-nilai
agama harus dijalankan dalam bernegara. Negara harus menjalankan
nilai-nilai agama. Negara dapat berbentuk apa saja, tapi nilai-nilai
agama harus dijalankan di dalamnya.
Di masa pemerintahan Orde
Baru, hubungan agama dan negara mengalami perubahan-perubahan dan
perkembangan-perkembangan yang cukup signifikan. Pada mulanya pemerintah
menaruh kecurigaan-kecurigaan terhadap Islam. Ini timbul, menurut
Masykuri Abdillah (1999: 43-44), karena pemerintah Orde Baru
mengkhawatirkan politisasi Islam dan kemampuannya menggerakkan massa,
yang dalam waktu singkat dapat melawan mereka. Ini juga disebabkan
karena kelompok militer yang mendukung pemerintahan Orde Baru banyak
berasal dari kelompok abangan dan priyayi (aristokrat dan birokrat
Jawa). Pola semacam ini, menurut Abdul Aziz Thaba (1996: 240-243)
disebut hubungan bersifat antagonistik.
Sebagai rangkuman dari apa
yang dipaparkan di atas, gambaran Syafi'i Anwar (1995: ix-xi) berikut
ini dapat membantu kita memahami lebih sistematis tentang hubungan agama
negara. Format hubungan Islam dan birokrasi Orde Baru dalam kurun waktu
1966-1993 mengalami tiga periodisasi. Periode pertama, periode awal
Orde Baru hingga 1970-an, yang mencerminkan hubungan hegemonik antara
Islam dan pemerintah Orde Baru.
Periode kedua, masih menurut
Syafi'i Anwar, adalah periode 1980-an, di mana hubungan antara Islam dan
birokrasi bersifat resiprokal, yaitu suatu hubungan yang mengarah pada
tumbuhnya saling pengertian timbal balik serta pemahaman di antara kedua
belah pihak. Soal politik, misalnya diselesaikan bersama dan diharapkan
dapat mempertemukan kepentingan masing-masing.
Periode ketiga adalah dekade
1990-an, berkat artikulasi dan peranan cendikiawan muslim, hubungan
antara Islam dan Orde Baru berkembang menjadi saling akomodatif.[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar