Selasa, 25 Desember 2012

MAZHAB JAFARI



Oleh: Umar Shahab, MA
Jangan sampai jika terjadi pertengkaran atau perselisihan mengenai keuangan diantara kamu, kamu angkat persoalannya kepada para fasik itu. Pilihlah seseorang yang mengetahui urusan yang halal dan haram diantara kamu sebagai pemutus perkara, karena aku telah tetapkan ia sebagai qadi, hakim bagimu. Aku peringatkan, jangan sampai ada diantara kamu yang mengangkat perselisihannya kepada penguasa yang zalim.
Pernyataan di atas dikeluarkan oleh Imam Ja’far Shadiq, imam ke enam dalam keyakinan Syiah Itsna-’Asyariyah atau Syiah Dua Belas Imam. Dalam tradisi fiqih Syiah, Imam Ja’far Shadiq dapat disebut sebagai bapak fiqih Syiah, karena sebagian besar masalah fiqih yang dibahas dalam fiqih Syiah bersumber atau mencerminkan “pandangan-pandangannya”. Imam Ja’far Shadiq terkenal sebagai orang yang paling alim pada masanya. Imam Abu Hanifah pernah memujinya, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih ahli dalam urusan agama selain Ja’far Ibn Muhammad.” Maa ra’aitu afqah min Ja’far Ibn Muhammad. Demikian pula Imam Malik bin Anas. Dia berkata, “Sungguh mata tidak pernah melihat, telinga tidak pernah mendengar, dan tidak pernah terlintas di benak manusia ada seorang yang lebih afdal dari Ja’far Ibn Muhammad, dari segi ilmu, ibadah, dan kewara’an.”
Maka tidak heran jika beberapa penulis sejarah, seperti Hafidz Abu Abbas Ahmad Ibn Uqdah (wafat tahun 320 H) dan Syaikh Najm ad-Din dalam kitabnya al-Mu’tabar mencatat tidak kurang dari empat ribu ulama yang pernah belajar kepada Imam Ja’far Shadiq. Karena itulah maka fiqiih Syiah lebih populer, terutama di kalangan non-Syiah, dengan sebutan: Fiqih Imam Ja’far Shadiq, atau Fiqih Ja’fari, atau ada juga yang menyebutnya Mazhab Ja’dari.
Akan tetap, perlu ditegaskan di sini bahwa pemakaian istilah Fiqih Ja’fari atau Mazhab Ja’fari bagi fiqih Syiah tidak sama dengan pemakaian istilah Mazhab Syafi’i atau Mazhab Hanafi, misalnya, dalam fiqih Sunni. Kedua nama Mazhab Sunni itu menunjuk pada kumpulan pendapat atau hasil ijtihad yang dilakukan oleh kedua imam mazhab tersebut. Tapi tidak demikian dengan istilah Mazhab Ja’fari. Istilah itu sama sekali tidak mencerminkan kumpulan pendapat atau hasil ijtihad Imam Ja’far Shadiq. Sebab, dalam pandangan Syiah, Imam Ja’far Shadiq, demikian pula kesebelas imam lainnya, yaitu (berturut dari imam pertama sampai imam terakhir) Ali Ibn Abi Thalib, Hasan Ibn Ali, Husain Ibn Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Kadzim, Ali Ridha, Muhammad Jawad, Ali Hadi, Hasan Askari, dan Muhammad Mahdi, bukan seorang mujtahid, tapi imam yang memiliki otoritas penetapan atau pembuatan hukum, tasyri’ al-hukm. Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, saya merasa perlu menjelaskan masalah ini lebih lanjut.
Istilah imamah (dari kata itu muncul istilah imam) dalam Syiah tidak sama dengan istilah khilafah atau imarah—masing-masing melahirkan kata khilafah dan amirul mukminin—dalam Sunni. Istilah khilafah dan imarah lebih bersifat politis. Ia dimaksudkan bagi seseorang yang memangku jabatan kepala negara dalam sistem “politik Islam”. Sementara istilah imamah, dalam teologi Syiah, tidak harus identik dengan jabatan kepala negara. Imam adalah seseorang yang diserahi tugas meneruskan risalah Islam setelah Nabi Muhammad saw. Karena fungsinya yang sama dengan Nabi Muhammad saw, maka imam bersifat maksum. Ia tidak pernah melakukan kesalahan atau dosa. Semua kata dan perilakunya mencerminkan kebenaran. Karena itu, sebagaimana Rasul, semua kata dan perilaku imam adalah hujjah, mesti diikuti oleh setiap orang yang beriman padanya. Dengan kata lain, fungsi kata dan perilaku imam, dalam pandangan Syiah, sama dengan fungsi kata dan perilaku Nabi saw. Bedanya, Rasul saw mendapatkan wahyu langsung dari Allah SWT, sedangkan imam tidak. Imam mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah berupa ilham atau firasah. Makanya, sekalipun Abu Bakar Shiddiq ra, Umar Ibn Khathab ra, dan Utsman Ibn Affan ra adalah penguasa-penguasa Islam pada zamannya, tidak menjadi halangan bagi Syiah untuk meyakini Ali Ibn Abi Thalib sebagai imam yang wajibut-tha’ah. Posisi keimamahan Ali tidak otomatis batal dengan didudukinya bangku kekhilafahan oleh tiga sahabat besar Nabi saw tersebut.
Karena kedudukan imam yang seperti itu, maka dalam menjalankan tugas keimamahannya, para murid imam-imam dua belas itu senantiasa mencatat apa saja yang mereka terima atau lihat dari Sang Imam. seperti yang dilakukan para sahabat terhadap kata dan perilaku Nabi saw. Akan tetap, karena hanya Imam Ja’far Shadiq  sajalah yang paling banyak mendapat kesempatan untuk membimbing umat—para imam yang lain, jika tidak kena tahanan rumah, mereka dibatasai berhubungan dengan kaum Muslim, sedangkan pada masa Imam Ja’fari Shadiq, para penguasa Bani Umayah sibuk menghadapi berbagai pemberontakan dan Bani Abbasiyah, yang muncul sesudahnya, lebih banyak memusatkan perhatian untuk memperkuat kekuasaan mereka yang masih baru—maka kumpulan catatan tentang kata dan perilaku imam itu didominasi oleh pernyataan-pernyataan Imam Ja’far Shadiq.
Pada masa imamah itu (berakhir dengan ghaibnya Imam Mahdi pada tahun 329 H), dalam dunia Syiah praktis tidak ada kehidupan ijtihad, seperti yang dikenal dalam dunia Sunni. Sebab, seperti yang telah disinggung di atas, para imam masih terus membimbing pengikutnya. Orang-orang Syiah tidak perlu harus bersusah payah mencari jawaban sendiri. Para imam selalu siap menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Akan tetapi, segera setelah berakhirnya masa imamah, hiruk pikuk ijtihad seperti yang terjadi dalam dunia Sunni mulai meruak ke dunia Syiah. Maka muncullah tokoh-tokoh seperti Kulaini, Syaikh Shaduq, Ibn ‘Aqil, Junaid, Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, Syaikh Thusi, ‘Allamah Hilli, dan sebagainya. Kendati tumbuh lebih terlambat, akan tetapi praktik ijtihad di duni Syiah boleh dikatakan jauh lebih berkembang ketimbang di dunia Sunni. Sebab, pintu ijtihad tidak pernah ditutup dalam dunia Syiah, sementara praktis sejak abad keenam hijriah, dunia Sunni mengharamkan ijtihad.
Ulama-ulama Syiah sampai kini terus dan dengan bebas mempraktikan ijtihad. Teori-teori baruy, sesuai dengan perkembangan zaman dan pemikiran, selalu muncul. Akhir-akhir ini, misalnya, dunia dikejutkan oleh teori politik wilayat al-faqih yang dikembangkan Imam Khomeini sebagai sistem politik alternatif. Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap teori ini, tapi munculnya teori brilian ini sendiri, dari orang yang dipandang oleh kaum “intelektual” sebagai kaum “tradisional”, menunjukkan adanya dinamika dan perkembangan yang pesat dalam dunia Syiah. Bahkan harus diakui, perkembangan pemikiran fiqih Syiah dewasa ini, ketika ulama-ulama Syiah mendapatkan kebebasan dan kesempatan langsung dan lebih besar setelah mereka memegang pucuk pimpinan pemerintahan di Iran, sangat jauh melompat ke depan dengan sebelumnya. Hampir dapat dipastikan bahwa dari ulama-ulama Syiah ini akan terus muncul gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran yang cemerlang. Ini tidak berarti bahwa di dunia Sunni tidak akan muncul gagasan-gagasan baru seperti yang ada di dunia Syiah. Selama ulama-ulama kita mau dengan serius menangani institusi ijtihad, tidak “malu-malu”, dan mau terbuka, seperti yang ditunjukkan ulama-ulama Syiah, saya kira peluang tersebut sama terbuka bagi kalangan Sunni.
Menarik, bahwa sekalipun di satu sisi pintu ijtihad terbuka selebar-lebarnya, di mana saja boleh berijtihad asal memenuhi syarat ijtihad, di sisi lain ulama-ulama Syiah mewajibkan orang awam bertaklid atau merujuk—beberapa kawan lebih senang menggunakan istilah itiba’ ketimbang taklid dengan alasan adanya konotasi negatif pada istilah taklid pada sebagian pihak, padahal maksudnya sama saja—dalam urusan agama mereka kepada seorang mujtahid yang memenuhi syarat, yang antara lain: seseorang yang masih hidup, diakui kemampuan dan kredibilitas ijtihadnya, adil, ibadah, takwa, wara’, istiqamah, tidak cinta dunia, dan tidak melakukan perbuatan dosa, besar maupun kecil. Syarat taklid kepada mujtahid hidup ini menuntut adanya orang-orang atau institusi yang terus-menerus menangani kebutuhan taklid ini. Dari sini lalu lahirlah apa yang kemudian populer dengan istilah marja’iyyah. Ulama-ulama yang dipilih oleh masyarakat sebagai tempat bertaklid atau ber-itiba’ ini disebut marja’.
Secara tradisional, para marja’ ini, langsung atau tidak langsung, memiliki seperangkat tuntunan kehidupan beragama bagi para penganutnya, yang merupakan hasil ijtihadnya para pelbagai sisi kehidupan, dari persoalan ibadah mahdah sampai persoalan politik. Seperangkat tuntutan beragama ini disebut risalah amaliah. Para mukalid atau penganut pandangan sang marja’, biasanya, selain bertanya langsung kepada sang marja’ atau wakilnya dalam urusan agama yang mereka hadapi, akan merujuk ke risalah amaliah yang dihimpun sang marja’.
Buku yang ada di hadapan Anda ini bukan sebuah risalah amaliah. Penulisnya pun, Ayatullah Syaikh Muhammad  Jawad Mughniyah, sekalipun seorang yang diakui kredibilitasnya dalam ijtihad oleh para pembesar Syiah, bukan seorang marja’. Tapi dia berusaha mengantarkan Anda, melalui argumentasi-argumentasi sederhana yang dikemukakannya, untuk mengetahui fiqih Syiah lebih jauh. Agak sulit mencari kitab fiqih Syiah yang lengkap tapi denga argumentasi sederhana seperti yang ditunjukkan oleh penulis kitab ini. Umumnya kitab-kitab fiqih Syiah yang bersifat argumentatif seperti ini masuk dalam kategori mutawwalat, kitab-kitab besar. Karena itulah kitab ini  terasa amat penting. Tidak hanya bagi orang-orang di luar Syiah yang ingin mengetahui fiqih Syiah, tapi juga bagi orang-orang Syiah sendiri. Saya yakin Anda juga sepakat dengan saya.

MAZHAB JAFARI



Oleh: Umar Shahab, MA
Jangan sampai jika terjadi pertengkaran atau perselisihan mengenai keuangan diantara kamu, kamu angkat persoalannya kepada para fasik itu. Pilihlah seseorang yang mengetahui urusan yang halal dan haram diantara kamu sebagai pemutus perkara, karena aku telah tetapkan ia sebagai qadi, hakim bagimu. Aku peringatkan, jangan sampai ada diantara kamu yang mengangkat perselisihannya kepada penguasa yang zalim.
Pernyataan di atas dikeluarkan oleh Imam Ja’far Shadiq, imam ke enam dalam keyakinan Syiah Itsna-’Asyariyah atau Syiah Dua Belas Imam. Dalam tradisi fiqih Syiah, Imam Ja’far Shadiq dapat disebut sebagai bapak fiqih Syiah, karena sebagian besar masalah fiqih yang dibahas dalam fiqih Syiah bersumber atau mencerminkan “pandangan-pandangannya”. Imam Ja’far Shadiq terkenal sebagai orang yang paling alim pada masanya. Imam Abu Hanifah pernah memujinya, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih ahli dalam urusan agama selain Ja’far Ibn Muhammad.” Maa ra’aitu afqah min Ja’far Ibn Muhammad. Demikian pula Imam Malik bin Anas. Dia berkata, “Sungguh mata tidak pernah melihat, telinga tidak pernah mendengar, dan tidak pernah terlintas di benak manusia ada seorang yang lebih afdal dari Ja’far Ibn Muhammad, dari segi ilmu, ibadah, dan kewara’an.”
Maka tidak heran jika beberapa penulis sejarah, seperti Hafidz Abu Abbas Ahmad Ibn Uqdah (wafat tahun 320 H) dan Syaikh Najm ad-Din dalam kitabnya al-Mu’tabar mencatat tidak kurang dari empat ribu ulama yang pernah belajar kepada Imam Ja’far Shadiq. Karena itulah maka fiqiih Syiah lebih populer, terutama di kalangan non-Syiah, dengan sebutan: Fiqih Imam Ja’far Shadiq, atau Fiqih Ja’fari, atau ada juga yang menyebutnya Mazhab Ja’dari.
Akan tetap, perlu ditegaskan di sini bahwa pemakaian istilah Fiqih Ja’fari atau Mazhab Ja’fari bagi fiqih Syiah tidak sama dengan pemakaian istilah Mazhab Syafi’i atau Mazhab Hanafi, misalnya, dalam fiqih Sunni. Kedua nama Mazhab Sunni itu menunjuk pada kumpulan pendapat atau hasil ijtihad yang dilakukan oleh kedua imam mazhab tersebut. Tapi tidak demikian dengan istilah Mazhab Ja’fari. Istilah itu sama sekali tidak mencerminkan kumpulan pendapat atau hasil ijtihad Imam Ja’far Shadiq. Sebab, dalam pandangan Syiah, Imam Ja’far Shadiq, demikian pula kesebelas imam lainnya, yaitu (berturut dari imam pertama sampai imam terakhir) Ali Ibn Abi Thalib, Hasan Ibn Ali, Husain Ibn Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Kadzim, Ali Ridha, Muhammad Jawad, Ali Hadi, Hasan Askari, dan Muhammad Mahdi, bukan seorang mujtahid, tapi imam yang memiliki otoritas penetapan atau pembuatan hukum, tasyri’ al-hukm. Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, saya merasa perlu menjelaskan masalah ini lebih lanjut.
Istilah imamah (dari kata itu muncul istilah imam) dalam Syiah tidak sama dengan istilah khilafah atau imarah—masing-masing melahirkan kata khilafah dan amirul mukminin—dalam Sunni. Istilah khilafah dan imarah lebih bersifat politis. Ia dimaksudkan bagi seseorang yang memangku jabatan kepala negara dalam sistem “politik Islam”. Sementara istilah imamah, dalam teologi Syiah, tidak harus identik dengan jabatan kepala negara. Imam adalah seseorang yang diserahi tugas meneruskan risalah Islam setelah Nabi Muhammad saw. Karena fungsinya yang sama dengan Nabi Muhammad saw, maka imam bersifat maksum. Ia tidak pernah melakukan kesalahan atau dosa. Semua kata dan perilakunya mencerminkan kebenaran. Karena itu, sebagaimana Rasul, semua kata dan perilaku imam adalah hujjah, mesti diikuti oleh setiap orang yang beriman padanya. Dengan kata lain, fungsi kata dan perilaku imam, dalam pandangan Syiah, sama dengan fungsi kata dan perilaku Nabi saw. Bedanya, Rasul saw mendapatkan wahyu langsung dari Allah SWT, sedangkan imam tidak. Imam mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah berupa ilham atau firasah. Makanya, sekalipun Abu Bakar Shiddiq ra, Umar Ibn Khathab ra, dan Utsman Ibn Affan ra adalah penguasa-penguasa Islam pada zamannya, tidak menjadi halangan bagi Syiah untuk meyakini Ali Ibn Abi Thalib sebagai imam yang wajibut-tha’ah. Posisi keimamahan Ali tidak otomatis batal dengan didudukinya bangku kekhilafahan oleh tiga sahabat besar Nabi saw tersebut.
Karena kedudukan imam yang seperti itu, maka dalam menjalankan tugas keimamahannya, para murid imam-imam dua belas itu senantiasa mencatat apa saja yang mereka terima atau lihat dari Sang Imam. seperti yang dilakukan para sahabat terhadap kata dan perilaku Nabi saw. Akan tetap, karena hanya Imam Ja’far Shadiq  sajalah yang paling banyak mendapat kesempatan untuk membimbing umat—para imam yang lain, jika tidak kena tahanan rumah, mereka dibatasai berhubungan dengan kaum Muslim, sedangkan pada masa Imam Ja’fari Shadiq, para penguasa Bani Umayah sibuk menghadapi berbagai pemberontakan dan Bani Abbasiyah, yang muncul sesudahnya, lebih banyak memusatkan perhatian untuk memperkuat kekuasaan mereka yang masih baru—maka kumpulan catatan tentang kata dan perilaku imam itu didominasi oleh pernyataan-pernyataan Imam Ja’far Shadiq.
Pada masa imamah itu (berakhir dengan ghaibnya Imam Mahdi pada tahun 329 H), dalam dunia Syiah praktis tidak ada kehidupan ijtihad, seperti yang dikenal dalam dunia Sunni. Sebab, seperti yang telah disinggung di atas, para imam masih terus membimbing pengikutnya. Orang-orang Syiah tidak perlu harus bersusah payah mencari jawaban sendiri. Para imam selalu siap menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Akan tetapi, segera setelah berakhirnya masa imamah, hiruk pikuk ijtihad seperti yang terjadi dalam dunia Sunni mulai meruak ke dunia Syiah. Maka muncullah tokoh-tokoh seperti Kulaini, Syaikh Shaduq, Ibn ‘Aqil, Junaid, Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, Syaikh Thusi, ‘Allamah Hilli, dan sebagainya. Kendati tumbuh lebih terlambat, akan tetapi praktik ijtihad di duni Syiah boleh dikatakan jauh lebih berkembang ketimbang di dunia Sunni. Sebab, pintu ijtihad tidak pernah ditutup dalam dunia Syiah, sementara praktis sejak abad keenam hijriah, dunia Sunni mengharamkan ijtihad.
Ulama-ulama Syiah sampai kini terus dan dengan bebas mempraktikan ijtihad. Teori-teori baruy, sesuai dengan perkembangan zaman dan pemikiran, selalu muncul. Akhir-akhir ini, misalnya, dunia dikejutkan oleh teori politik wilayat al-faqih yang dikembangkan Imam Khomeini sebagai sistem politik alternatif. Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap teori ini, tapi munculnya teori brilian ini sendiri, dari orang yang dipandang oleh kaum “intelektual” sebagai kaum “tradisional”, menunjukkan adanya dinamika dan perkembangan yang pesat dalam dunia Syiah. Bahkan harus diakui, perkembangan pemikiran fiqih Syiah dewasa ini, ketika ulama-ulama Syiah mendapatkan kebebasan dan kesempatan langsung dan lebih besar setelah mereka memegang pucuk pimpinan pemerintahan di Iran, sangat jauh melompat ke depan dengan sebelumnya. Hampir dapat dipastikan bahwa dari ulama-ulama Syiah ini akan terus muncul gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran yang cemerlang. Ini tidak berarti bahwa di dunia Sunni tidak akan muncul gagasan-gagasan baru seperti yang ada di dunia Syiah. Selama ulama-ulama kita mau dengan serius menangani institusi ijtihad, tidak “malu-malu”, dan mau terbuka, seperti yang ditunjukkan ulama-ulama Syiah, saya kira peluang tersebut sama terbuka bagi kalangan Sunni.
Menarik, bahwa sekalipun di satu sisi pintu ijtihad terbuka selebar-lebarnya, di mana saja boleh berijtihad asal memenuhi syarat ijtihad, di sisi lain ulama-ulama Syiah mewajibkan orang awam bertaklid atau merujuk—beberapa kawan lebih senang menggunakan istilah itiba’ ketimbang taklid dengan alasan adanya konotasi negatif pada istilah taklid pada sebagian pihak, padahal maksudnya sama saja—dalam urusan agama mereka kepada seorang mujtahid yang memenuhi syarat, yang antara lain: seseorang yang masih hidup, diakui kemampuan dan kredibilitas ijtihadnya, adil, ibadah, takwa, wara’, istiqamah, tidak cinta dunia, dan tidak melakukan perbuatan dosa, besar maupun kecil. Syarat taklid kepada mujtahid hidup ini menuntut adanya orang-orang atau institusi yang terus-menerus menangani kebutuhan taklid ini. Dari sini lalu lahirlah apa yang kemudian populer dengan istilah marja’iyyah. Ulama-ulama yang dipilih oleh masyarakat sebagai tempat bertaklid atau ber-itiba’ ini disebut marja’.
Secara tradisional, para marja’ ini, langsung atau tidak langsung, memiliki seperangkat tuntunan kehidupan beragama bagi para penganutnya, yang merupakan hasil ijtihadnya para pelbagai sisi kehidupan, dari persoalan ibadah mahdah sampai persoalan politik. Seperangkat tuntutan beragama ini disebut risalah amaliah. Para mukalid atau penganut pandangan sang marja’, biasanya, selain bertanya langsung kepada sang marja’ atau wakilnya dalam urusan agama yang mereka hadapi, akan merujuk ke risalah amaliah yang dihimpun sang marja’.
Buku yang ada di hadapan Anda ini bukan sebuah risalah amaliah. Penulisnya pun, Ayatullah Syaikh Muhammad  Jawad Mughniyah, sekalipun seorang yang diakui kredibilitasnya dalam ijtihad oleh para pembesar Syiah, bukan seorang marja’. Tapi dia berusaha mengantarkan Anda, melalui argumentasi-argumentasi sederhana yang dikemukakannya, untuk mengetahui fiqih Syiah lebih jauh. Agak sulit mencari kitab fiqih Syiah yang lengkap tapi denga argumentasi sederhana seperti yang ditunjukkan oleh penulis kitab ini. Umumnya kitab-kitab fiqih Syiah yang bersifat argumentatif seperti ini masuk dalam kategori mutawwalat, kitab-kitab besar. Karena itulah kitab ini  terasa amat penting. Tidak hanya bagi orang-orang di luar Syiah yang ingin mengetahui fiqih Syiah, tapi juga bagi orang-orang Syiah sendiri. Saya yakin Anda juga sepakat dengan saya.

Rabu, 19 Desember 2012

EDUCATION FOR ALL (PENDIDIKAN UNTUK SEMUA)




          Lebih dari 40 tahun yang lalu, bangsa-bangsa di dunia, berbicara melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, menegaskan bahwa: "Setiap orang memiliki hak untuk pendidikan". Meskipun negara-negara di seluruh dunia mengupayakan untuk menjamin hak pendidikan untuk semua, tetapi masih saja ditemukan kendala. Kendala tersebut antara lain:
-         Lebih dari 100 juta anak-anak, termasuk setidaknya 60 juta anak-anak, tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar.
-         Lebih dari 960 juta orang dewasa, dua pertiga di antaranya adalah perempuan yang buta huruf, dan buta huruf adalah masalah yang signifikan di semua negara, termasuk di negara industri dan berkembang.
-         Lebih dari sepertiga orang dewasa di dunia tidak mendapatkan pengetahuan tertulis, keterampilan, dan teknologi baru yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka dan membantu mereka dalam beradaptasi menghadapi perubahan sosial dan budaya.
-         Lebih dari 100 juta anak-anak dan orang dewasa yang tak terhitung, gagal untuk menyelesaikan program pendidikan dasar.
-         Jutaan orang telah memenuhi persyaratan untuk memperoleh pendidikan, namun mereka tidak memperoleh pengetahuan dan keterampilan esensial.
          Pada saat yang sama, dunia menghadapi masalah yang menakutkan seperti, beban utang, ancaman stagnasi dan kemunduran ekonomi, pertumbuhan penduduk yang cepat, pelebaran kesenjangan ekonomi antar bangsa, perang, pendudukan, perang saudara, kejahatan, kekerasan, kematian yang dapat dicegah jutaan anak-anak dan meluas ke kerusakan lingkungan. Masalah ini menghambat upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan belajar dasar. Masalah-masalah ini telah menyebabkan kemunduran besar dalam pendidikan dasar pada 1980-an di banyak negara sedang berkembang. Di beberapa negara lain, pertumbuhan ekonomi telah tersedia untuk membiayai perluasan pendidikan, namun meskipun demikian, banyak jutaan tetap dalam kemiskinan, tidak mampu bersekolah atau buta huruf. Di negara-negara industri tertentu juga, penghematan dalam pengeluaran pemerintah selama tahun 1980-an telah menyebabkan kemerosotan pendidikan.
          Akhirnya pada tanggal 5-9 Maret 1990 di Jomtien, Thailand,  115 negara dan 150 oragnisasi saling bertemu dan mengadakan  Konferensi  Dunia membahas Education for All (EFA) atau Pendidikan Untuk Semua (PUS). Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, perlu koalisi yang luas dari pemerintah nasional, masyarakat sipil kelompok, dan lembaga pembangunan seperti UNESCO dan Bank Dunia. Mereka berkomitmen untuk mencapai enam tujuan pendidikan yaitu:
1.       Memperluas dan meningkatkan perawatan anak usia dini yang komprehensif dan pendidikan, terutama bagi yang paling rentan dan anak-anak yang kurang beruntung.
2.       Memastikan bahwa pada 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, yang dalam keadaan sulit, dan mereka yang termasuk etnik minoritas, memiliki akses lengkap dan bebas ke wajib pendidikan dasar yang berkualitas baik.
3.       Memastikan bahwa kebutuhan belajar semua pemuda dan dewasa dipenuhi melalui akses yang adil untuk pembelajaran yang tepat dan program ketrampilan hidup.
4.       Mencapai 50% peningkatan dalam keaksaraan orang dewasa pada tahun 2015, khususnya bagi perempuan, dan akses ke pendidikan dasar dan pendidikan berkelanjutan bagi semua orang dewasa secara adil.
5.       Menghilangkan perbedaan gender pada pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005, dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan dengan tahun 2015, dengan fokus pada perempuan bahwa mereka dipastikan mendapat akses penuh dan sama ke dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik.
6.       Meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulan semua sehingga diakui dan diukur hasil pembelajaran yang dicapai oleh semua, khususnya dalam keaksaraan, berhitung dan kecakapan hidup yang esensial.
          Setelah satu dekade, karena lambatnya kemajuan dan banyaknya negara yang jauh dari keharusan untuk mencapai tujuan tersebut, masyarakat internasional menegaskan kembali komitmennya terhadap Pendidikan Untuk Semua di Dakar, Senegal, pada 26-28 April 2000 dan sekali lagi pada bulan September  tahun itu. Pada pertemuan terakhir, 189 negara dan mitra mereka mengadopsi dua dari delapan tujuan Pendidikan Untuk Semua yang dikenal dengan nama Millenium Development Goals (MDG) yaitu MDG 2 mengenai pendidikan dasar dan universal serta MDG 3 mengenai kesetaraan jender dalam pendidikan pada tahun 2015.
          Dalam konferensi tersebut mereka berjanji untuk mencapai "Pendidikan untuk Semua" pada 2015. Dan untuk memenuhi tujuan tersebut perlu usaha antara lain:
-         Menyediakan $11 miliar per tahun untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menyekolahkan 72 juta anak.
-         Meningkatkan kualitas pendidikan dengan pelatihan dan merekrut 18 juta guru antara sekarang dan 2015, sehingga semua anak memiliki kesempatan untuk belajar di kelas yang lebih kecil (di bawah 40 anak per guru).
-         Mendorong pemerintah untuk mendefinisikan dan mengukur standar minimal pembelajaran, sebagai tonggak utama terhadap peningkatan hasil pembelajaran dan strategi yang lebih luas untuk menjamin kualitas pendidikan di sekolah-sekolah, sehingga peserta didik terus mengembangkan keahlian yang dibutuhkan untuk pekerjaan dan kontribusi untuk ekonomi produktif.
-         Menjangkau semua anak dengan mengembangkan strategi-strategi baru untuk mencapai sulit dijangkau anak-anak dalam konflik, di daerah terpencil, dan dari kelompok-kelompok didiskriminasi.
-         Memperluas kesempatan pendidikan pada semua tingkatan, termasuk investasi dalam perawatan anak usia dini dan pengembangan, pendidikan menengah dan penyediaan kesempatan kedua belajar bagi mereka melalui pendidikan non-formal dan program keaksaraan orang dewasa (gabungan pendanaan eksternal membutuhkan $ 5 Milyar per tahun).
-         Menjamin bahwa anak-anak memiliki cukup untuk makan untuk belajar dan mengembangkan kesehatan melalui penyediaan makanan sekolah atau program transfer tunai kepada keluarga.
-         Mendorong pemerintah nasional untuk mempersembahkan paling sedikit 20% dari anggaran nasional untuk pendidikan dan untuk menghapuskan biaya yang mencegah begitu banyak anak-anak dari pergi ke sekolah. Menganjurkan bahwa pemerintah memiliki strategi untuk menjangkau anak-anak yang paling terpinggirkan, dan bahwa mereka menghadapi diskriminasi terhadap minoritas dan kelompok-kelompok dikecualikan lainnya.
         
          Selain konferensi tersebut, ada kegiatan penunjang yang mendukung Pendidikan Untuk Semua. Kegiatan tersebut antara lain:
1. Global Coordination (Koordinasi Global)
            Pada tingkat global, regional dan tingkat nasional, UNESCO memperdalam kemitraan dan aliansi, membangun konsensus dan menyelaraskan mitra kontribusi dan partisipasi. Mitra PUS dalam upaya terkoordinasi ini termasuk pemerintah, organisasi internasional, donor bilateral dan multilateral, masyarakat sipil dan sektor swasta.
2. The High-Level Group (Perkumpulan Tingkat Tinggi )
            Diselenggarakan setiap tahun oleh Direktur Jenderal UNESCO, dengan diikuti oleh sekitar tiga puluh Menteri Pendidikan dan Kerjasama Internasional, kepala badan-badan pembangunan dan perwakilan dari masyarakat sipil maupun sektor swasta. Perannya adalah untuk mempertahankan dan mempercepat momentum politik yang diciptakan pada Forum Pendidikan Dunia dan berfungsi sebagai tuas untuk mobilisasi sumberdaya.
3. The Working Group on Education for All (Kelompok Kerja PUS)
            Kelompok Kerja Pendidikan Untuk Semua memberikan bimbingan teknis dan mempromosikan pertukaran informasi antara semua mitra dalam Pendidikan Untuk Semua. Kelompok ini terdiri dari wakil-wakil dari semua pemangku kepentingan kunci PUS.
4. The Global Action Plan (Rencana Aksi Global)
            Rencana Aksi Global adalah strategi global yang dikembangkan untuk memperbaiki koordinasi tingkat negara  yang menuju Pendidikan Untuk Semua. Rencana ini bertujuan untuk menjelaskan peran dari lima lembaga internasional menjadi ujung tombak gerakan EFA global (UNDP, UNESCO, UNFPA, UNICEF dan Bank Dunia) dan memastikan mereka terkoordinasi pada aksi bersama di tingkat global. Pada akhirnya, hal itu bertujuan untuk mencapai lebih baik dan lebih bertarget di lapangan maupun di tingkat negara.
5. The EFA Global Monitoring Report (Laporan Pengawasan Global PUS)
            Laporan Pengawasan Global tahunan adalah laporan mengenai kemajuan negara-negara dan lembaga membuat arah tujuan PUS dengan cara menyediakan data terbaru yang tersedia bersama dengan analisis mendalam. Laporan ini mencakup Indeks Pembangunan PUS yang mengukur sejauh mana pertemuan negara-negara tujuan PUS khususnya di pendidikan dasar, keaksaraan dewasa, paritas gender dan kualitas.
6. EFA Global Action Week (Minggu Aksi Global PUS)
            Sebuah kampanye advokasi di seluruh dunia yang diselenggarakan setiap tahun pada akhir April untuk merayakan ulang tahun Forum Pendidikan Dunia yang diselenggarakan pada tahun 2000 di Dakar. Ini bertujuan untuk memobilisasi pemerintah dan masyarakat internasional untuk memenuhi janji mereka untuk mencapai Pendidikan Untuk Semua pada tahun 2015.

Pendidikan Untuk Semua di Indonesia
          Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar dalam 20 tahun terakhir ini. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Tapi Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, masalah tersebut antara lain:
-   Anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.
-   Kualifikasi guru yang masih kurang.
-   Metode pengajaran yang tidak efektif. Yaitu masih berorientasi kepada guru dan anak didik tidak diberi kesempatan memahami sendiri.
-   Manajemen sekolah yang buruk
-   Kurangnya keterlibatan masyarakat.
-   Kurangnya akses pengembangan dan pembelajaran usia dini bagi sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.
-   Alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai.
-   Biaya pendidikan yang tinggi.
          Untuk mencapai tujuan Pendidikan Untuk Semua, pemerintah Indonesia dibantu oleh UNICEF dan UNESCO melakukan kegiatan-kegiatan antara lain:
1. Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat
              UNICEF mendukung langkah-langkah pemerintah Indonesia untuk meningkatkan akses pendidikan dasar melalui Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat. Sistem ini memungkinkan penelusuran semua anak usia di bawah 18 tahun yang tidak bersekolah.
2. Program Wajib Belajar 9 tahun
              Dalam upayanya mencapai tujuan “Pendidikan untuk Semua” pada 2015, pemerintah Indonesia saat ini menekankan pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun bagi seluruh anak Indonesia usia 6 sampai 15 tahun. Dalam hal ini, UNICEF dan UNESCO memberi dukungan teknis dan dana.
3. Program Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak (CLCC).
          Bersama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan anak-anak di delapan propinsi di Indonesia, UNICEF mendukung program Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak (CLCC). Proyek ini berkembang pesat dari 1.326  sekolah pada 2004 menjadi 1.496 pada 2005. Kondisi ini membantu 45.454 guru dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih menantang bagi sekitar 275.078 siswa.

DAFTAR PUSTAKA
education for all is pendidikan mampu mengangkat segala lapisan.
Kelomok:
Septiyana munawaroh (12410046)
Irfan hamdi(12410051)
Qanita Zairina Q (12410052)
Wakhidatun khasanah (12410057)
Khoirul Azam (12410062)
Jihan nabila (12410065)
Sofwatul Basroh (12410068)
Rahmat Hadayat (12410069)
Tina Aseptina (12410073)
Waenoful (12410083)
Esti Rahmah  P 912410084)
Ma’sum badowi (12410089)