Kamis, 21 Agustus 2014
Jumat, 12 April 2013
EMPIRISME "DAVID HUME"
EMPIRISME “DAVID HUME”
Makalah
ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum
Dosen
Pengampu : Usman, Dr. , SS.
Disusun Oleh:
·
Waenoful (12410083)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Istilah “empirisme” berasal dari
kata yunani “empiria” yang berarti “pengalaman inderawi”. Empirisme memilih
sebagai sumber utama pengenalan bukan rasio melainkan pengalaman. Dan yang oleh
Empirisme yang dimaksud sebagai “pengalaman” ialah baik pengalaman lahiriah
yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi
manusia.1
Tentang sifat pengenalan manusia,
empirisme bertolak belakang dengan rasionalisme. Menurut rasionalisme
pengenalan yang sejati berasal dari rasio sedangkan pengenalan inderawi
meupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja, sedangkan empirisme
sebaliknya berpendapat bahwa pengetahuan berasal pengalaman, sedangkan
pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Empirisme dirintis oleh Francis
Bacon yang menekankan metode empiris-eksperimental dalam menyelidiki apa yang
bisa diketahui manusia. Setelah Bacon, Hobbes mendasarkan filsafat politiknya
pada penelitian empiris atas motivasi-motivasi manusia yang dibandingkannya
dengan sebuah arloji. Locke membangun epistemologinya dengan didasarkan pada
anggapan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari pengalaman inderawi. Pada
David Hume memuncaknya aliran empirisme.2
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup David Hume ?
2.
Bagaimana pandangan Hume tentang pengetahuan?
3.
Bagaimana pandangan Hume tentang agama?
4.
Bagaimana pandangan Hume tentang etika?
1.
FX. Mudji
Sutrisno & F. Budi Hardiman, Para
filsuf penentu gerak zaman, Kanisius, 1992, Hal.61
2.
Simon Petrus, petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.227
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui riwayat hidup David Hume.
2.
Untuk mengetahui pandangan Hume tentang pengetahuan
3.
Untuk mengetahui pandangan Hume tentang agama.
4.
Untuk mengetahui pandangan Hume tentang etika
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat hidup David Hume
David Hume dilahirkan di kota Edinburg,
Skotlandia pada tahun 1711. Sejak usia muda, ia sangat menggandrungi filsafat,
yang karenanya ia mengorbankan pendalaman ilmu hukum yang sesungguhnya dikehendaki
oleh keluarganya, serta mengorbankan bisnisnya.3
Hume belajar filsafat secara autodidak.
Pada tahun 1734, ia bekerja sebagai juru tulis pada seorang saudagar. Tahun
1734-1737 ia tinggal di Paris, publikasi bukunya gagal, ia pun tak punya
pekerjaan dan pulang ke Inggris. Pada tahun 1744 ia ditolak sebagai profesor
UniversitasEdinburgh karena dianggap ateis dan terlalu liberal. Pada tahun 1763
ia diutus sebagai sekretaris Dubes Inggris ke Paris, menjalin hubungan dengan
para tokoh pencerahan Perancis. Di negara ini ia malah dipuji-puji banyak
orang, namun kemudian ia pulang ke Inggris bersama Rousseau(“aku memutuskan
untuk meninggalkan orang-orang baik itu sebelum mereka meninggalkan aku”).
Hanya beberapa saat di Inggris, Rousseau bertengkar dengannya dan kembali ke
Paris. Pada tahun 1767 ia bekerja sebagai sekretaris di London dan mulai tahun
1769 ia tinggal di kampung halamannya hingga wafat pada tahun 1776. “aku punya
semua alasan untuk mati dengan puas”. Hume hidup membujang sepanjang hidupnya.
Karya-karyanya yang terkenal antara lain : A Treatise on Human Nature (tulisan
tentang kodrat manusia 1738-1740), An Enquiry Concerning Human Understanding
(penyelidikan atas pemahaman manusia, 1748).4
Tak ada yang meragukan bahwa Hume
termasuk orang yang paling dalam dan cermat dalam mengkaji karakter manusia. Hume
boleh bangga karena ialah yang telah membangkitkan Immanuel Kant, seorang
filsuf kritis dan dia pula yang mengarahkannya menulis tiga buku kritisnya.
B.
Pandangan Hume Tentang Pengetahuan
Hume menolak pandangan bahwa manusia
mempunyai pandangan-pandangan bawaan. Kesadaran atau persepsi kita berasal dari
pengalaman. Persepsi tersebut
3.
Dr. Fuad Farid Ismail & Dr. Abdul Hamid Mutawalli, cara mudah belajar
filsafat,ircisod,2003 hal.102
4.
Simon Petrus,
petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.247
menurut Hume
terdiri dari dua unsur, yaitu : yang pertama kesan (impressions), atau apa yang
diperoleh secara langsung dari pengalaman , baik pengalaman lahiriah atau
batiniah, sifatnya jelas, hidup, dan kuat. Misalnya sewaktu tangan saya menyentuh
api, tangan
saya langsung terasa panas. Yang kedua pandanga (ideas) atau hasil asosiasi
atas kesan yang telah kita dapatkan sebelumnya. Dengan demikian pandangan
diperoleh secara tidak langsung dari pengalaman, dan merupakan hasi dari proses
refleksi, berfikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, berfantasi, dan
sebagainya. Pandangan sifatnya kurang jelas dibandingkan dengan kesan.
Contohnya waktu kita terkena api langsung terasa panas, dan setelahnya kita
membayangkan terkena api. Menurut Hume sebagian beasar manusia mendasarkan
pengetahuannya pada pemahaman atau pandangan. Akibatnya, manusia sering kali
menegenali sesuatu secara kabur dan merasa ragu-ragu atas apa yang dikenal dan
diketahuinya. Dengan demikian, menurut Hume kita harus kembali kepada sumber
pengetahuan yang sejati agar ketidakjelasan itu hilang. Artinya, kita harus
mendasarkan pengetahuan kita pada kesan. Setelah itu, kita akan mendapatkan
keyakinan yang bisa kita andalkan dalam proses pengetahuan. Keyakinan ini
dinamakan sebagai “kepercayaan”. Kita percaya bahwa pengalaman akan membawa
kita pada pengenalan yang sejati.5
5.
Bertrand Russell.Sejarah filsafat
barat kaitannya dengan sosio politik zaman kuno hingga sekarang..pustaka
pelajar.2007.Hal.868
Menurut Hume bahwa semua gagasan kita
disalin dari kesan yang kita dapatkan. Tiga hubungan yang tidak hanya
bergantung pada gagasan adalah jati diri, hubungan ruang-waktu dan sebab
akibat(kausalitas). Pada dua hubungan yang pertama, pikiran tidak melampaui apa
yang segera muncul dalam indera. Hubungan ruang dan waktu menurut Hume dapat
dipersepsi dan dapat membentuk bagian-bagian kesan. Hubungan sebab akibat ialah
jika suatu gejala tertentu selalu disusul dengan gejala lain, dengan sendirinya
oleh gejala yang sebelumnya. Misalnya batu yang terkena sinar matahari selalu
panas. Kita menyimpulkan, batu menjadi panas karena disinari matahari. Tetapi
kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberikan
urutan-urutan gejala-gejala, tetapi tidaklah memperlihatkan urutan
sebab-akibat.6
C.
Pandangan Hume Tentang Agama
Hume juga mengambil sikap skeptis
terhadap agama. Pertama ia menganggap deisme yang berkembang pada zaman
pencerahan, sebagai kepercayaan naif. Ajaran deisme tentang Allah sebagai
tukang arloji yang telah menciptakan jagad raya ini secara sempurna menurut
prinsip-prinsip mekanistik, misalnya ditolak Hume kita tidak mengetahui apa pun
tentang prinsip kausalitas yang diandaikan dalam kepercayaan tersebut (hubungan
eksistensi Allah dan jagad raya sebagai hubungan sebab-akibat).7
6.
FX. Mudji
Sutrisno & F. Budi Hardiman, Para
filsuf penentu gerak zaman, Kanisius, 1992, Hal.62
7.
Simon Petrus,
petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.250-251
Menurut Hume, ketika kita percaya
kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini, kita berhadapan dengan dilema. Kita
berpikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing-masing, sedangkan itu hanya
setumpuk persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat
mengatakan Tuhan itu maha sempurna dan maha kuasa sedangkan di alam terjadi
kejahatan dan berbagi bencana. Lebih lanjut Hume juga berkomentar, tidak ada
bukti yang dapat dipakai untuk membuktikan bahwa Allah itu ada dan bahwa ia
menyelenggarakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jika tidak dapat mati. Dalam
praktek orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap
pasti, sedangkan akal tidak bisa membuktikannya. Menurutnya banyak sekali
keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak
berguna bagi hidup. Agama demikian Hume, di sebabkan karena penyelewengan wahyu
yang asli, yaitu dari monoteisme ke politeisme dan bukan juga dari olteisme ke
monoteisme. Tetapi agama berasal dari penghargaan dan ketakutan manusia
terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia mengangkat berbagai
dewa untuk disembah.
Dalam hal agama Hume kelihatan sangat
kriris dan kalau ditarik dari jalur empirismenya, dia lebih konsisten darpada
Lock dan Berkeley. Hume meragukan eksistensi Tuhan karena tidak ada argumen
yang kuat untuk membuktikan adanya Tuhan baik secara a posteriori maupun a
priori. Dia juga menolak mukjizat sebagai slah satu dari dasar agama.
Menurutnya agama berasal dari hal yang takhayul.
Kritik Hume terhadap agama tampaknya
tidak seluruhnya dapat dipertanggungjawabkan. Hume terlalu tergesa-gesa
mengambil kesimpulan tentang teologi, diantara kritikan Hume yang tidak releva
ialah:
-
Hume cenderung menentang dua bentuk teisme yang monopolar dan mengabaikan
sintesis dipolar. Dalam hal ini ada dua pola, yaitu mistisisme dan
antropomorisme.
-
Hume mengabaikan peranan akal dalam menangkap realitas. Padahal akal mampu
menghubungkan kejadian-kejadian yang lampau dengan yang sekarang dan bahkan meramalkan sesuatu untuk yang akan
datang
-
Hume terlalu meredusir semua realitas dalam kajian empiris, sehingga dia
terjerumus pada determinisme empiris. Skeptisisme Hume terhadap agam juga
berdasarkan atas determinimismenya yang kaku ini. Alam empiris terwujud dari
dua hal yang saling bergantian yaitu kebaikan dan bencana/kejahatan.8
8.
Amsal Bahtiar.Filsafat Agama.Logos wacana
ilmu.1997.Hal.108-114
D.
Pandangan Hume Tentang Etika
Sesuai dengan sikapnya yang empiristis,
Hume mendasarkan ajarannya tentang etika yang berawal dari fakta-fakta dan
pengamatan empiris, yakni pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Dalam
bidang moral, rasio dan kehendak memang berperan penting, namun yang paling
penting menurut Hume adalah perasaan moral (moral sentiment). Bagi Hume masalah
bail/buruk tidak dianggap objektif atau terlepas dari sikap kita, melainkan
merupakan bagian dari perasaan subyektif kita. Berdasarkan hal tersebut, Hume
menolak etika normatif yang menunjukkan kepada kita perbuatan apa yang wajib
atau voleh kita lakukandan mana yang tidak. Moralitas adalah maslah perasaan.
Perasaan bisa atau tidak ada. Bagi Hume, prinsip pokok bagi suatu tindakan yang
dinilai baik adalah kalau tindakan itu menyenangkan atau berguna bagi kita atau
bagi banyak orang. Dari sini selanjutnya bisa di bedakan secara umum ada empat
sikap positif dalam etika menurut Hume, yaitu:
-
Sikap yang menyenangkan kita sendiri : kegembiraan, kebesaran jiwa,
ketenangan dan sebagainya,
-
Sikap yang menyenangkan orang lain : tahu diri, sopan, humor
-
Sikap yang berguna bagi diri sendiri :keinginan yang kuat, rajin, hemat,
kekuatan fisik, dan kecerdasan,
-
Sikap yang berguna bagi masyarakat: kebaikan hati dan keadilan.
Menurut Hume, yang mendorong manusia
melakukan tindakan yang positif adalah bukan rasio melainkan oleh perasaan
moral. Dengan rasio kita memang dapat mengetahui apa yang bisa kita lakukan
yntuk mendapatkan kesenangan, namun yang mengemudikan tindakan kita ke arah
tersebut adalah perasaan moral kita yang bekerja secara subyektif berdasarkan
prinsip cinta diri(untuk tindakan yang menyenangkan dan berguna bagi diri
sendiri) dan simpati (uuntuk tindakan yang menyenangkan dan berguna bagi orang
lain). Disini dapat kita lihat, etika Hume berbeda dengan aliran hedonisme
egoistik yang mengajarkan agar oranga mencari kesenangan sebanyak-banyaknya
untuk diri sendiri. Ajaran Hume mengandaikan bahwa manusia secara kodrati
merupakan mahluk sosial, sehingga ia sanggup memberikan perasaan simpati
terhadap sesamanya secara spontan. Dengan rasa simpati tersebut, manusia akan
merasa bahagia bila orang lain juga merasa bahagia, dan sebaliknya, ia akan
merasa sedih bila orang lain sedih. Rasa simpati ini juga mendorong kita untuk
mengusahakan kesejahteraan umum dan keadilan sebagai perlindungan terhadap hak
kita masing-masing.
Menurut Hume, manusia memilki
kebebasan. Namun kebebasan secara negatif dan logis. Kebebasan adalah tidak
adanya kendala-kendala dari luar terhadap keinginan-keinginan manusia.
Seseorang di sebut bebas bila ia bisa mengikuti gerakan perasaan dan keinginannya,
atau bila ia tidak di hambat oleh faktor-faktor dari luar. Dengan kata lain
kebebasan adalah spontanitas.9
9.Simon Petrus,
petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.252-253
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mengenai pengetahuan, menurut Hume,
Kesadaran atau persepsi kita berasal dari pengalaman. Persepsi tersebutterdiri
dari dua unsur, yaitu : yang pertama kesan (impressions), atau apa yang
diperoleh secara langsung dari pengalaman , baik pengalaman lahiriah atau
batiniah, sifatnya jelas, hidup, dan kuat. Menurut Hume sebagian besar manusia
mendasarkan pengetahuannya pada pemahaman atau pandangan. Akibatnya, manusia
sering kali menegenali sesuatu secara kabur dan merasa ragu-ragu atas apa yang
dikenal dan diketahuinya.
Hume juga mengambil sikap skeptis
terhadap agama. Dalam praktek orang-orang yang beragama selalu mengikuti
kepercayaan yang dianggap pasti, sedangkan akal tidak bisa membuktikannya.
Menurut Hume banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak
berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama demikian Hume, di sebabkan
karena penyelewengan wahyu yang asli, yaitu dari monoteisme ke politeisme dan
bukan juga dari olteisme ke monoteisme.
Sesuai dengan sikapnya yang empiristis,
Hume mendasarkan ajarannya tentang etika yang berawal dari fakta-fakta dan
pengamatan empiris, yakni pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Dalam
bidang moral, rasio dan kehendak memang berperan penting, namun yang paling
penting menurut Hume adalah perasaan moral (moral sentiment). Bagi Hume masalah
bail/buruk tidak dianggap objektif atau terlepas dari sikap kita, melainkan
merupakan bagian dari perasaan subyektif kita.
DAFTAR PUSTAKA
·
Petrus,Simon. Petualangan Intelektual.
Yogyakarta: Kanisius, 2004
·
Mudiji, Sutrisno & Hardiman,Budi. Para
Filsuf Penentu Gerak Zaman.Yogyakarta: Kanisius,1992.
·
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama.
Yogyakarta: Kanisius,1992.
·
Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat
Barat (kaitannya dengan sosio politik zaman kuno hingga sekarang).
Yogyakarta: pusataka pelajar, 2007.
·
Ismail, Fuad Farid & Mutawali, Abdul Hamid. Cara Mudah Belajar Filsafat. Yogyakarta: Ircisod, 2012.
Selasa, 25 Desember 2012
MAZHAB JAFARI
Oleh: Umar Shahab, MA
Jangan sampai jika terjadi
pertengkaran atau perselisihan mengenai keuangan diantara kamu, kamu angkat
persoalannya kepada para fasik itu. Pilihlah seseorang yang mengetahui urusan
yang halal dan haram diantara kamu sebagai pemutus perkara, karena aku telah
tetapkan ia sebagai qadi, hakim bagimu. Aku peringatkan, jangan sampai ada
diantara kamu yang mengangkat perselisihannya kepada penguasa yang zalim.
Pernyataan di atas dikeluarkan oleh
Imam Ja’far Shadiq, imam ke enam dalam keyakinan Syiah Itsna-’Asyariyah atau
Syiah Dua Belas Imam. Dalam tradisi fiqih Syiah, Imam Ja’far Shadiq dapat
disebut sebagai bapak fiqih Syiah, karena sebagian besar masalah fiqih yang
dibahas dalam fiqih Syiah bersumber atau mencerminkan “pandangan-pandangannya”.
Imam Ja’far Shadiq terkenal sebagai orang yang paling alim pada masanya. Imam
Abu Hanifah pernah memujinya, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih ahli
dalam urusan agama selain Ja’far Ibn Muhammad.” Maa ra’aitu afqah min Ja’far
Ibn Muhammad. Demikian pula Imam Malik bin Anas. Dia berkata, “Sungguh mata
tidak pernah melihat, telinga tidak pernah mendengar, dan tidak pernah
terlintas di benak manusia ada seorang yang lebih afdal dari Ja’far Ibn
Muhammad, dari segi ilmu, ibadah, dan kewara’an.”
Maka tidak heran jika beberapa
penulis sejarah, seperti Hafidz Abu Abbas Ahmad Ibn Uqdah (wafat tahun 320 H)
dan Syaikh Najm ad-Din dalam kitabnya al-Mu’tabar mencatat tidak kurang
dari empat ribu ulama yang pernah belajar kepada Imam Ja’far Shadiq. Karena
itulah maka fiqiih Syiah lebih populer, terutama di kalangan non-Syiah, dengan
sebutan: Fiqih Imam Ja’far Shadiq, atau Fiqih Ja’fari, atau ada
juga yang menyebutnya Mazhab Ja’dari.
Akan tetap, perlu ditegaskan di sini
bahwa pemakaian istilah Fiqih Ja’fari atau Mazhab Ja’fari bagi
fiqih Syiah tidak sama dengan pemakaian istilah Mazhab Syafi’i atau Mazhab
Hanafi, misalnya, dalam fiqih Sunni. Kedua nama Mazhab Sunni itu menunjuk
pada kumpulan pendapat atau hasil ijtihad yang dilakukan oleh kedua imam mazhab
tersebut. Tapi tidak demikian dengan istilah Mazhab Ja’fari. Istilah itu
sama sekali tidak mencerminkan kumpulan pendapat atau hasil ijtihad Imam Ja’far
Shadiq. Sebab, dalam pandangan Syiah, Imam Ja’far Shadiq, demikian pula
kesebelas imam lainnya, yaitu (berturut dari imam pertama sampai imam terakhir)
Ali Ibn Abi Thalib, Hasan Ibn Ali, Husain Ibn Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad
Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Kadzim, Ali Ridha, Muhammad Jawad, Ali Hadi, Hasan
Askari, dan Muhammad Mahdi, bukan seorang mujtahid, tapi imam yang
memiliki otoritas penetapan atau pembuatan hukum, tasyri’ al-hukm.
Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, saya merasa perlu menjelaskan masalah ini lebih
lanjut.
Istilah imamah (dari
kata itu muncul istilah imam) dalam Syiah tidak sama dengan istilah khilafah
atau imarah—masing-masing melahirkan kata khilafah dan amirul
mukminin—dalam Sunni. Istilah khilafah dan imarah lebih
bersifat politis. Ia dimaksudkan bagi seseorang yang memangku jabatan kepala
negara dalam sistem “politik Islam”. Sementara istilah imamah, dalam
teologi Syiah, tidak harus identik dengan jabatan kepala negara. Imam adalah
seseorang yang diserahi tugas meneruskan risalah Islam setelah Nabi Muhammad
saw. Karena fungsinya yang sama dengan Nabi Muhammad saw, maka imam bersifat
maksum. Ia tidak pernah melakukan kesalahan atau dosa. Semua kata dan
perilakunya mencerminkan kebenaran. Karena itu, sebagaimana Rasul, semua kata
dan perilaku imam adalah hujjah, mesti diikuti oleh setiap orang yang
beriman padanya. Dengan kata lain, fungsi kata dan perilaku imam, dalam
pandangan Syiah, sama dengan fungsi kata dan perilaku Nabi saw. Bedanya, Rasul
saw mendapatkan wahyu langsung dari Allah SWT, sedangkan imam tidak. Imam
mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah berupa ilham atau firasah.
Makanya, sekalipun Abu Bakar Shiddiq ra, Umar Ibn Khathab ra, dan Utsman Ibn
Affan ra adalah penguasa-penguasa Islam pada zamannya, tidak menjadi halangan
bagi Syiah untuk meyakini Ali Ibn Abi Thalib sebagai imam yang wajibut-tha’ah.
Posisi keimamahan Ali tidak otomatis batal dengan didudukinya bangku
kekhilafahan oleh tiga sahabat besar Nabi saw tersebut.
Karena kedudukan imam yang seperti
itu, maka dalam menjalankan tugas keimamahannya, para murid imam-imam dua belas
itu senantiasa mencatat apa saja yang mereka terima atau lihat dari Sang Imam.
seperti yang dilakukan para sahabat terhadap kata dan perilaku Nabi saw. Akan
tetap, karena hanya Imam Ja’far Shadiq sajalah yang paling banyak
mendapat kesempatan untuk membimbing umat—para imam yang lain, jika tidak kena
tahanan rumah, mereka dibatasai berhubungan dengan kaum Muslim, sedangkan pada
masa Imam Ja’fari Shadiq, para penguasa Bani Umayah sibuk menghadapi berbagai
pemberontakan dan Bani Abbasiyah, yang muncul sesudahnya, lebih banyak
memusatkan perhatian untuk memperkuat kekuasaan mereka yang masih baru—maka
kumpulan catatan tentang kata dan perilaku imam itu didominasi oleh
pernyataan-pernyataan Imam Ja’far Shadiq.
Pada masa imamah itu
(berakhir dengan ghaibnya Imam Mahdi pada tahun 329 H), dalam dunia Syiah
praktis tidak ada kehidupan ijtihad, seperti yang dikenal dalam dunia Sunni.
Sebab, seperti yang telah disinggung di atas, para imam masih terus membimbing
pengikutnya. Orang-orang Syiah tidak perlu harus bersusah payah mencari jawaban
sendiri. Para imam selalu siap menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan
yang mereka hadapi. Akan tetapi, segera setelah berakhirnya masa imamah,
hiruk pikuk ijtihad seperti yang terjadi dalam dunia Sunni mulai meruak ke
dunia Syiah. Maka muncullah tokoh-tokoh seperti Kulaini, Syaikh Shaduq, Ibn
‘Aqil, Junaid, Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, Syaikh Thusi, ‘Allamah Hilli, dan
sebagainya. Kendati tumbuh lebih terlambat, akan tetapi praktik ijtihad di duni
Syiah boleh dikatakan jauh lebih berkembang ketimbang di dunia Sunni. Sebab,
pintu ijtihad tidak pernah ditutup dalam dunia Syiah, sementara praktis sejak
abad keenam hijriah, dunia Sunni mengharamkan ijtihad.
Ulama-ulama Syiah sampai kini terus
dan dengan bebas mempraktikan ijtihad. Teori-teori baruy, sesuai dengan
perkembangan zaman dan pemikiran, selalu muncul. Akhir-akhir ini, misalnya,
dunia dikejutkan oleh teori politik wilayat al-faqih yang dikembangkan
Imam Khomeini sebagai sistem politik alternatif. Terlepas dari setuju atau
tidak setuju terhadap teori ini, tapi munculnya teori brilian ini sendiri, dari
orang yang dipandang oleh kaum “intelektual” sebagai kaum “tradisional”,
menunjukkan adanya dinamika dan perkembangan yang pesat dalam dunia Syiah.
Bahkan harus diakui, perkembangan pemikiran fiqih Syiah dewasa ini, ketika
ulama-ulama Syiah mendapatkan kebebasan dan kesempatan langsung dan lebih besar
setelah mereka memegang pucuk pimpinan pemerintahan di Iran, sangat jauh
melompat ke depan dengan sebelumnya. Hampir dapat dipastikan bahwa dari
ulama-ulama Syiah ini akan terus muncul gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran
yang cemerlang. Ini tidak berarti bahwa di dunia Sunni tidak akan muncul
gagasan-gagasan baru seperti yang ada di dunia Syiah. Selama ulama-ulama kita
mau dengan serius menangani institusi ijtihad, tidak “malu-malu”, dan mau
terbuka, seperti yang ditunjukkan ulama-ulama Syiah, saya kira peluang tersebut
sama terbuka bagi kalangan Sunni.
Menarik, bahwa sekalipun di satu
sisi pintu ijtihad terbuka selebar-lebarnya, di mana saja boleh berijtihad asal
memenuhi syarat ijtihad, di sisi lain ulama-ulama Syiah mewajibkan orang awam
bertaklid atau merujuk—beberapa kawan lebih senang menggunakan istilah itiba’
ketimbang taklid dengan alasan adanya konotasi negatif pada istilah taklid
pada sebagian pihak, padahal maksudnya sama saja—dalam urusan agama mereka
kepada seorang mujtahid yang memenuhi syarat, yang antara lain: seseorang yang
masih hidup, diakui kemampuan dan kredibilitas ijtihadnya, adil, ibadah, takwa,
wara’, istiqamah, tidak cinta dunia, dan tidak melakukan perbuatan dosa, besar
maupun kecil. Syarat taklid kepada mujtahid hidup ini menuntut adanya
orang-orang atau institusi yang terus-menerus menangani kebutuhan taklid ini.
Dari sini lalu lahirlah apa yang kemudian populer dengan istilah marja’iyyah.
Ulama-ulama yang dipilih oleh masyarakat sebagai tempat bertaklid atau ber-itiba’
ini disebut marja’.
Secara tradisional, para marja’
ini, langsung atau tidak langsung, memiliki seperangkat tuntunan kehidupan
beragama bagi para penganutnya, yang merupakan hasil ijtihadnya para pelbagai
sisi kehidupan, dari persoalan ibadah mahdah sampai persoalan politik.
Seperangkat tuntutan beragama ini disebut risalah amaliah. Para mukalid
atau penganut pandangan sang marja’, biasanya, selain bertanya langsung
kepada sang marja’ atau wakilnya dalam urusan agama yang mereka hadapi,
akan merujuk ke risalah amaliah yang dihimpun sang marja’.
Buku yang ada di hadapan Anda ini
bukan sebuah risalah amaliah. Penulisnya pun, Ayatullah Syaikh Muhammad
Jawad Mughniyah, sekalipun seorang yang diakui kredibilitasnya dalam ijtihad
oleh para pembesar Syiah, bukan seorang marja’. Tapi dia berusaha
mengantarkan Anda, melalui argumentasi-argumentasi sederhana yang
dikemukakannya, untuk mengetahui fiqih Syiah lebih jauh. Agak sulit mencari
kitab fiqih Syiah yang lengkap tapi denga argumentasi sederhana seperti yang
ditunjukkan oleh penulis kitab ini. Umumnya kitab-kitab fiqih Syiah yang
bersifat argumentatif seperti ini masuk dalam kategori mutawwalat,
kitab-kitab besar. Karena itulah kitab ini terasa amat penting. Tidak
hanya bagi orang-orang di luar Syiah yang ingin mengetahui fiqih Syiah, tapi
juga bagi orang-orang Syiah sendiri. Saya yakin Anda juga sepakat dengan saya.
Langganan:
Postingan (Atom)