Kamis, 22 Februari 2018

Inspirasi Dari Dr. Emil Founding father IIEC (International islamic Education Council) Untuk Pradita Dirgantara


Foto Bersama Ibu Panglima TNI dan Dr. Emil beserta TIM HEBAT SMA Pradita Dirgantara




















Datang jauh-jauh dari jakarta, Dr. Emil dan timnya mengunjungi Diklat Guru SMA Pradita Dirgantara di Solo. Sebagai pendiri sekolah Islam yang berasrama Dr. Emil memberikan ilmu dan pengalaman tentang konsep sekolah berasrama. Kami banyak belajar dari beliau dalam pengelolaan sekolah yang berasrama. Tidak lupa sosok luar biasa yang senantiasa mensupport baik tenaga, pikiran, dan segala usaha yang sudah beliau korbankan untuk SMA Pradita Dirgantara yakni Ibu Panglima TNI. terima kasih Ibu Nani, terima kasih Dr.Emil. terima kasih kepada semua pihak yang maaf tidak bisa disebutkan satu persatu. KITA LUAR BIASA!!!

DIKLAT TENAGA PENDIDIK DAN

TENAGA KEPENDIDIKAN SMA PRADITA DIRGANTARA




Dibalik sekolah yang hebat ada peran sumber daya manusia yang hebat pula. Berawal dari berkumpulnya para orang-orang yang hebat dari yang terbaik yang terpilih dibangun kerjasama tim yang solid melalui kegiatan tim building yang diprakarsai oleh tim yang hebat pula dilaksanakan pada tanggal 4-15 Februari 2018. Alhamdulillah semua kegiatan berjalan dengan lancar tanpa ada suatu halangan apapun. :)
salam kompak selalu TIM HEBAT SMA PRADITA DIRGANTARA.



Jumat, 12 April 2013

EMPIRISME "DAVID HUME"


EMPIRISME “DAVID HUME”

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum
Dosen Pengampu : Usman, Dr. , SS.


















Disusun Oleh:


·    Waenoful (12410083)





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
                                                          2013   

BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah

               Istilah “empirisme” berasal dari kata yunani “empiria” yang berarti “pengalaman inderawi”. Empirisme memilih sebagai sumber utama pengenalan bukan rasio melainkan pengalaman. Dan yang oleh Empirisme yang dimaksud sebagai “pengalaman” ialah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia.1
               Tentang sifat pengenalan manusia, empirisme bertolak belakang dengan rasionalisme. Menurut rasionalisme pengenalan yang sejati berasal dari rasio sedangkan pengenalan inderawi meupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja, sedangkan empirisme sebaliknya berpendapat bahwa pengetahuan berasal pengalaman, sedangkan pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
               Empirisme dirintis oleh Francis Bacon yang menekankan metode empiris-eksperimental dalam menyelidiki apa yang bisa diketahui manusia. Setelah Bacon, Hobbes mendasarkan filsafat politiknya pada penelitian empiris atas motivasi-motivasi manusia yang dibandingkannya dengan sebuah arloji. Locke membangun epistemologinya dengan didasarkan pada anggapan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari pengalaman inderawi. Pada David Hume memuncaknya aliran empirisme.2

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup David Hume ?
2.      Bagaimana pandangan Hume tentang pengetahuan?
3.      Bagaimana pandangan Hume tentang agama?
4.      Bagaimana pandangan Hume tentang etika?






1.        FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman, Para filsuf penentu gerak zaman, Kanisius, 1992, Hal.61
2.        Simon Petrus, petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.227

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui riwayat hidup David Hume.
2.      Untuk mengetahui pandangan Hume tentang pengetahuan
3.      Untuk mengetahui pandangan Hume tentang agama.
4.      Untuk mengetahui pandangan Hume tentang etika






















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat hidup David Hume
         David Hume dilahirkan di kota Edinburg, Skotlandia pada tahun 1711. Sejak usia muda, ia sangat menggandrungi filsafat, yang karenanya ia mengorbankan pendalaman ilmu hukum yang sesungguhnya dikehendaki oleh keluarganya, serta mengorbankan bisnisnya.3
         Hume belajar filsafat secara autodidak. Pada tahun 1734, ia bekerja sebagai juru tulis pada seorang saudagar. Tahun 1734-1737 ia tinggal di Paris, publikasi bukunya gagal, ia pun tak punya pekerjaan dan pulang ke Inggris. Pada tahun 1744 ia ditolak sebagai profesor UniversitasEdinburgh karena dianggap ateis dan terlalu liberal. Pada tahun 1763 ia diutus sebagai sekretaris Dubes Inggris ke Paris, menjalin hubungan dengan para tokoh pencerahan Perancis. Di negara ini ia malah dipuji-puji banyak orang, namun kemudian ia pulang ke Inggris bersama Rousseau(“aku memutuskan untuk meninggalkan orang-orang baik itu sebelum mereka meninggalkan aku”). Hanya beberapa saat di Inggris, Rousseau bertengkar dengannya dan kembali ke Paris. Pada tahun 1767 ia bekerja sebagai sekretaris di London dan mulai tahun 1769 ia tinggal di kampung halamannya hingga wafat pada tahun 1776. “aku punya semua alasan untuk mati dengan puas”. Hume hidup membujang sepanjang hidupnya. Karya-karyanya yang terkenal antara lain : A Treatise on Human Nature (tulisan tentang kodrat manusia 1738-1740), An Enquiry Concerning Human Understanding (penyelidikan atas pemahaman manusia, 1748).4
         Tak ada yang meragukan bahwa Hume termasuk orang yang paling dalam dan cermat dalam mengkaji karakter manusia. Hume boleh bangga karena ialah yang telah membangkitkan Immanuel Kant, seorang filsuf kritis dan dia pula yang mengarahkannya menulis tiga buku kritisnya.

B.     Pandangan Hume Tentang Pengetahuan
         Hume menolak pandangan bahwa manusia mempunyai pandangan-pandangan bawaan. Kesadaran atau persepsi kita berasal dari pengalaman. Persepsi tersebut


3.        Dr. Fuad Farid Ismail & Dr. Abdul Hamid Mutawalli, cara mudah belajar filsafat,ircisod,2003 hal.102
4.        Simon Petrus, petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.247


menurut Hume terdiri dari dua unsur, yaitu : yang pertama kesan (impressions), atau apa yang diperoleh secara langsung dari pengalaman , baik pengalaman lahiriah atau batiniah, sifatnya jelas, hidup, dan kuat. Misalnya sewaktu tangan saya menyentuh
api, tangan saya langsung terasa panas. Yang kedua pandanga (ideas) atau hasil asosiasi atas kesan yang telah kita dapatkan sebelumnya. Dengan demikian pandangan diperoleh secara tidak langsung dari pengalaman, dan merupakan hasi dari proses refleksi, berfikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, berfantasi, dan sebagainya. Pandangan sifatnya kurang jelas dibandingkan dengan kesan. Contohnya waktu kita terkena api langsung terasa panas, dan setelahnya kita membayangkan terkena api. Menurut Hume sebagian beasar manusia mendasarkan pengetahuannya pada pemahaman atau pandangan. Akibatnya, manusia sering kali menegenali sesuatu secara kabur dan merasa ragu-ragu atas apa yang dikenal dan diketahuinya. Dengan demikian, menurut Hume kita harus kembali kepada sumber pengetahuan yang sejati agar ketidakjelasan itu hilang. Artinya, kita harus mendasarkan pengetahuan kita pada kesan. Setelah itu, kita akan mendapatkan keyakinan yang bisa kita andalkan dalam proses pengetahuan. Keyakinan ini dinamakan sebagai “kepercayaan”. Kita percaya bahwa pengalaman akan membawa kita pada pengenalan yang sejati.5
         Bagian terpenting dari seluruh treatise adalah sub-bagian dari pengetahuan dan probabilitas. Yang dimaksud hume dengan probabilitas bukanlah sejenis pengetahuan yang terdapat dalam teori probabilitas matematika, misalnya peluang untuk membuang dua angka enam dengan dua dadu adalah tigapuluh per enampuluh. Pengetahuan ini tidak dengan sendirinya bersifat mungkin dalam pengertian apapun. Ia memiliki kepastian sebagaimana yang dimiliki pengetahuan. Yang menjadi perhatian Hume adalah pengetahuan tak pasti, misalnya yang didapat dari data empiris dengan penyimpulan yang demonstratif. Ini mencakup pengetahuan kita mengenai masa depan, dan mengenai bagian tak teramati dari masa lalu dan masa kini. Ini bahkan mencakup segalanya kecuali, di satu sisi, pengamatan langsung dan di sisi lain logika dan matematika. Analisis mengenai pengetahuan mungkin itu menggiring Hume pada simpulan skeptis tertentu, yang sulit untuk di tolak ataupunn diterima.5
5.        Bertrand Russell.Sejarah filsafat barat kaitannya dengan sosio politik zaman kuno hingga sekarang..pustaka pelajar.2007.Hal.868
         Menurut Hume bahwa semua gagasan kita disalin dari kesan yang kita dapatkan. Tiga hubungan yang tidak hanya bergantung pada gagasan adalah jati diri, hubungan ruang-waktu dan sebab akibat(kausalitas). Pada dua hubungan yang pertama, pikiran tidak melampaui apa yang segera muncul dalam indera. Hubungan ruang dan waktu menurut Hume dapat dipersepsi dan dapat membentuk bagian-bagian kesan. Hubungan sebab akibat ialah jika suatu gejala tertentu selalu disusul dengan gejala lain, dengan sendirinya oleh gejala yang sebelumnya. Misalnya batu yang terkena sinar matahari selalu panas. Kita menyimpulkan, batu menjadi panas karena disinari matahari. Tetapi kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberikan urutan-urutan gejala-gejala, tetapi tidaklah memperlihatkan urutan sebab-akibat.6


C.    Pandangan Hume Tentang Agama
         Hume juga mengambil sikap skeptis terhadap agama. Pertama ia menganggap deisme yang berkembang pada zaman pencerahan, sebagai kepercayaan naif. Ajaran deisme tentang Allah sebagai tukang arloji yang telah menciptakan jagad raya ini secara sempurna menurut prinsip-prinsip mekanistik, misalnya ditolak Hume kita tidak mengetahui apa pun tentang prinsip kausalitas yang diandaikan dalam kepercayaan tersebut (hubungan eksistensi Allah dan jagad raya sebagai hubungan sebab-akibat).7
         Pernyataan Hume tentang teori kausalitas ini sangat berpengaruh bagi perkembangan pemikiran filsafat dan keagamaan di Barat. Dengan penolakan terhadap teori kausalitas. Hume melanjutkan menghujat argumen ontologis dan kosmologis tentang keberadaan Tuhan dan sekaligus membatasi kemampuan akal. Munculnya positivisme diwarnai oleh ide David Hume, bahkan materialisme bisa dikatakan sebagai puncak dari empirisme. Para filsof sebelum Hume percaya bahwa alam adalah akibat dan Tuhan adalah sebab alam. Menurut kategori logika, keberadaan sebab lebih wajib dibandingkan keberadaan akibat dan sebab lebih dahulu dibanding akibat. Karena itu, Tuhan sebagai sebab wajib ada dan mendahului alam, sedangkan alam sebagai akibat mungkin adanya dan setelah Tuhan. Argumen ini tetap dipegan oleh filsof sampai Hume. Hume yang memulai menggugat dalil tersebut dengan menjungkirbalikan teori kausalitas.
6.        FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman, Para filsuf penentu gerak zaman, Kanisius, 1992, Hal.62
7.        Simon Petrus, petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.250-251
         Menurut Hume, ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini, kita berhadapan dengan dilema. Kita berpikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing-masing, sedangkan itu hanya setumpuk persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat mengatakan Tuhan itu maha sempurna dan maha kuasa sedangkan di alam terjadi kejahatan dan berbagi bencana. Lebih lanjut Hume juga berkomentar, tidak ada bukti yang dapat dipakai untuk membuktikan bahwa Allah itu ada dan bahwa ia menyelenggarakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jika tidak dapat mati. Dalam praktek orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap pasti, sedangkan akal tidak bisa membuktikannya. Menurutnya banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama demikian Hume, di sebabkan karena penyelewengan wahyu yang asli, yaitu dari monoteisme ke politeisme dan bukan juga dari olteisme ke monoteisme. Tetapi agama berasal dari penghargaan dan ketakutan manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia mengangkat berbagai dewa untuk disembah.
         Dalam hal agama Hume kelihatan sangat kriris dan kalau ditarik dari jalur empirismenya, dia lebih konsisten darpada Lock dan Berkeley. Hume meragukan eksistensi Tuhan karena tidak ada argumen yang kuat untuk membuktikan adanya Tuhan baik secara a posteriori maupun a priori. Dia juga menolak mukjizat sebagai slah satu dari dasar agama. Menurutnya agama berasal dari hal yang takhayul.
         Kritik Hume terhadap agama tampaknya tidak seluruhnya dapat dipertanggungjawabkan. Hume terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan tentang teologi, diantara kritikan Hume yang tidak releva ialah:
-          Hume cenderung menentang dua bentuk teisme yang monopolar dan mengabaikan sintesis dipolar. Dalam hal ini ada dua pola, yaitu mistisisme dan antropomorisme.
-          Hume mengabaikan peranan akal dalam menangkap realitas. Padahal akal mampu menghubungkan kejadian-kejadian yang lampau dengan yang sekarang  dan bahkan meramalkan sesuatu untuk yang akan datang
-          Hume terlalu meredusir semua realitas dalam kajian empiris, sehingga dia terjerumus pada determinisme empiris. Skeptisisme Hume terhadap agam juga berdasarkan atas determinimismenya yang kaku ini. Alam empiris terwujud dari dua hal yang saling bergantian yaitu kebaikan dan bencana/kejahatan.8


8.        Amsal Bahtiar.Filsafat Agama.Logos wacana ilmu.1997.Hal.108-114

D.    Pandangan Hume Tentang Etika
         Sesuai dengan sikapnya yang empiristis, Hume mendasarkan ajarannya tentang etika yang berawal dari fakta-fakta dan pengamatan empiris, yakni pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Dalam bidang moral, rasio dan kehendak memang berperan penting, namun yang paling penting menurut Hume adalah perasaan moral (moral sentiment). Bagi Hume masalah bail/buruk tidak dianggap objektif atau terlepas dari sikap kita, melainkan merupakan bagian dari perasaan subyektif kita. Berdasarkan hal tersebut, Hume menolak etika normatif yang menunjukkan kepada kita perbuatan apa yang wajib atau voleh kita lakukandan mana yang tidak. Moralitas adalah maslah perasaan. Perasaan bisa atau tidak ada. Bagi Hume, prinsip pokok bagi suatu tindakan yang dinilai baik adalah kalau tindakan itu menyenangkan atau berguna bagi kita atau bagi banyak orang. Dari sini selanjutnya bisa di bedakan secara umum ada empat sikap positif dalam etika menurut Hume, yaitu:
-          Sikap yang menyenangkan kita sendiri : kegembiraan, kebesaran jiwa, ketenangan dan sebagainya,
-          Sikap yang menyenangkan orang lain : tahu diri, sopan, humor
-          Sikap yang berguna bagi diri sendiri :keinginan yang kuat, rajin, hemat, kekuatan fisik, dan kecerdasan,
-          Sikap yang berguna bagi masyarakat: kebaikan hati dan keadilan.
          Menurut Hume, yang mendorong manusia melakukan tindakan yang positif adalah bukan rasio melainkan oleh perasaan moral. Dengan rasio kita memang dapat mengetahui apa yang bisa kita lakukan yntuk mendapatkan kesenangan, namun yang mengemudikan tindakan kita ke arah tersebut adalah perasaan moral kita yang bekerja secara subyektif berdasarkan prinsip cinta diri(untuk tindakan yang menyenangkan dan berguna bagi diri sendiri) dan simpati (uuntuk tindakan yang menyenangkan dan berguna bagi orang lain). Disini dapat kita lihat, etika Hume berbeda dengan aliran hedonisme egoistik yang mengajarkan agar oranga mencari kesenangan sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri. Ajaran Hume mengandaikan bahwa manusia secara kodrati merupakan mahluk sosial, sehingga ia sanggup memberikan perasaan simpati terhadap sesamanya secara spontan. Dengan rasa simpati tersebut, manusia akan merasa bahagia bila orang lain juga merasa bahagia, dan sebaliknya, ia akan merasa sedih bila orang lain sedih. Rasa simpati ini juga mendorong kita untuk mengusahakan kesejahteraan umum dan keadilan sebagai perlindungan terhadap hak kita masing-masing.
          Menurut Hume, manusia memilki kebebasan. Namun kebebasan secara negatif dan logis. Kebebasan adalah tidak adanya kendala-kendala dari luar terhadap keinginan-keinginan manusia. Seseorang di sebut bebas bila ia bisa mengikuti gerakan perasaan dan keinginannya, atau bila ia tidak di hambat oleh faktor-faktor dari luar. Dengan kata lain kebebasan adalah spontanitas.9



























9.Simon Petrus, petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.252-253
BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
         Mengenai pengetahuan, menurut Hume, Kesadaran atau persepsi kita berasal dari pengalaman. Persepsi tersebutterdiri dari dua unsur, yaitu : yang pertama kesan (impressions), atau apa yang diperoleh secara langsung dari pengalaman , baik pengalaman lahiriah atau batiniah, sifatnya jelas, hidup, dan kuat. Menurut Hume sebagian besar manusia mendasarkan pengetahuannya pada pemahaman atau pandangan. Akibatnya, manusia sering kali menegenali sesuatu secara kabur dan merasa ragu-ragu atas apa yang dikenal dan diketahuinya.
         Hume juga mengambil sikap skeptis terhadap agama. Dalam praktek orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap pasti, sedangkan akal tidak bisa membuktikannya. Menurut Hume banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama demikian Hume, di sebabkan karena penyelewengan wahyu yang asli, yaitu dari monoteisme ke politeisme dan bukan juga dari olteisme ke monoteisme.
         Sesuai dengan sikapnya yang empiristis, Hume mendasarkan ajarannya tentang etika yang berawal dari fakta-fakta dan pengamatan empiris, yakni pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Dalam bidang moral, rasio dan kehendak memang berperan penting, namun yang paling penting menurut Hume adalah perasaan moral (moral sentiment). Bagi Hume masalah bail/buruk tidak dianggap objektif atau terlepas dari sikap kita, melainkan merupakan bagian dari perasaan subyektif kita.
        










DAFTAR PUSTAKA

·         Petrus,Simon. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004
·         Mudiji, Sutrisno & Hardiman,Budi. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman.Yogyakarta: Kanisius,1992.
·         Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Yogyakarta: Kanisius,1992.
·         Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat (kaitannya dengan sosio politik zaman kuno hingga sekarang). Yogyakarta: pusataka pelajar, 2007.
·         Ismail, Fuad Farid & Mutawali, Abdul Hamid. Cara Mudah Belajar Filsafat. Yogyakarta: Ircisod, 2012.

Selasa, 25 Desember 2012

MAZHAB JAFARI



Oleh: Umar Shahab, MA
Jangan sampai jika terjadi pertengkaran atau perselisihan mengenai keuangan diantara kamu, kamu angkat persoalannya kepada para fasik itu. Pilihlah seseorang yang mengetahui urusan yang halal dan haram diantara kamu sebagai pemutus perkara, karena aku telah tetapkan ia sebagai qadi, hakim bagimu. Aku peringatkan, jangan sampai ada diantara kamu yang mengangkat perselisihannya kepada penguasa yang zalim.
Pernyataan di atas dikeluarkan oleh Imam Ja’far Shadiq, imam ke enam dalam keyakinan Syiah Itsna-’Asyariyah atau Syiah Dua Belas Imam. Dalam tradisi fiqih Syiah, Imam Ja’far Shadiq dapat disebut sebagai bapak fiqih Syiah, karena sebagian besar masalah fiqih yang dibahas dalam fiqih Syiah bersumber atau mencerminkan “pandangan-pandangannya”. Imam Ja’far Shadiq terkenal sebagai orang yang paling alim pada masanya. Imam Abu Hanifah pernah memujinya, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih ahli dalam urusan agama selain Ja’far Ibn Muhammad.” Maa ra’aitu afqah min Ja’far Ibn Muhammad. Demikian pula Imam Malik bin Anas. Dia berkata, “Sungguh mata tidak pernah melihat, telinga tidak pernah mendengar, dan tidak pernah terlintas di benak manusia ada seorang yang lebih afdal dari Ja’far Ibn Muhammad, dari segi ilmu, ibadah, dan kewara’an.”
Maka tidak heran jika beberapa penulis sejarah, seperti Hafidz Abu Abbas Ahmad Ibn Uqdah (wafat tahun 320 H) dan Syaikh Najm ad-Din dalam kitabnya al-Mu’tabar mencatat tidak kurang dari empat ribu ulama yang pernah belajar kepada Imam Ja’far Shadiq. Karena itulah maka fiqiih Syiah lebih populer, terutama di kalangan non-Syiah, dengan sebutan: Fiqih Imam Ja’far Shadiq, atau Fiqih Ja’fari, atau ada juga yang menyebutnya Mazhab Ja’dari.
Akan tetap, perlu ditegaskan di sini bahwa pemakaian istilah Fiqih Ja’fari atau Mazhab Ja’fari bagi fiqih Syiah tidak sama dengan pemakaian istilah Mazhab Syafi’i atau Mazhab Hanafi, misalnya, dalam fiqih Sunni. Kedua nama Mazhab Sunni itu menunjuk pada kumpulan pendapat atau hasil ijtihad yang dilakukan oleh kedua imam mazhab tersebut. Tapi tidak demikian dengan istilah Mazhab Ja’fari. Istilah itu sama sekali tidak mencerminkan kumpulan pendapat atau hasil ijtihad Imam Ja’far Shadiq. Sebab, dalam pandangan Syiah, Imam Ja’far Shadiq, demikian pula kesebelas imam lainnya, yaitu (berturut dari imam pertama sampai imam terakhir) Ali Ibn Abi Thalib, Hasan Ibn Ali, Husain Ibn Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Kadzim, Ali Ridha, Muhammad Jawad, Ali Hadi, Hasan Askari, dan Muhammad Mahdi, bukan seorang mujtahid, tapi imam yang memiliki otoritas penetapan atau pembuatan hukum, tasyri’ al-hukm. Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, saya merasa perlu menjelaskan masalah ini lebih lanjut.
Istilah imamah (dari kata itu muncul istilah imam) dalam Syiah tidak sama dengan istilah khilafah atau imarah—masing-masing melahirkan kata khilafah dan amirul mukminin—dalam Sunni. Istilah khilafah dan imarah lebih bersifat politis. Ia dimaksudkan bagi seseorang yang memangku jabatan kepala negara dalam sistem “politik Islam”. Sementara istilah imamah, dalam teologi Syiah, tidak harus identik dengan jabatan kepala negara. Imam adalah seseorang yang diserahi tugas meneruskan risalah Islam setelah Nabi Muhammad saw. Karena fungsinya yang sama dengan Nabi Muhammad saw, maka imam bersifat maksum. Ia tidak pernah melakukan kesalahan atau dosa. Semua kata dan perilakunya mencerminkan kebenaran. Karena itu, sebagaimana Rasul, semua kata dan perilaku imam adalah hujjah, mesti diikuti oleh setiap orang yang beriman padanya. Dengan kata lain, fungsi kata dan perilaku imam, dalam pandangan Syiah, sama dengan fungsi kata dan perilaku Nabi saw. Bedanya, Rasul saw mendapatkan wahyu langsung dari Allah SWT, sedangkan imam tidak. Imam mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah berupa ilham atau firasah. Makanya, sekalipun Abu Bakar Shiddiq ra, Umar Ibn Khathab ra, dan Utsman Ibn Affan ra adalah penguasa-penguasa Islam pada zamannya, tidak menjadi halangan bagi Syiah untuk meyakini Ali Ibn Abi Thalib sebagai imam yang wajibut-tha’ah. Posisi keimamahan Ali tidak otomatis batal dengan didudukinya bangku kekhilafahan oleh tiga sahabat besar Nabi saw tersebut.
Karena kedudukan imam yang seperti itu, maka dalam menjalankan tugas keimamahannya, para murid imam-imam dua belas itu senantiasa mencatat apa saja yang mereka terima atau lihat dari Sang Imam. seperti yang dilakukan para sahabat terhadap kata dan perilaku Nabi saw. Akan tetap, karena hanya Imam Ja’far Shadiq  sajalah yang paling banyak mendapat kesempatan untuk membimbing umat—para imam yang lain, jika tidak kena tahanan rumah, mereka dibatasai berhubungan dengan kaum Muslim, sedangkan pada masa Imam Ja’fari Shadiq, para penguasa Bani Umayah sibuk menghadapi berbagai pemberontakan dan Bani Abbasiyah, yang muncul sesudahnya, lebih banyak memusatkan perhatian untuk memperkuat kekuasaan mereka yang masih baru—maka kumpulan catatan tentang kata dan perilaku imam itu didominasi oleh pernyataan-pernyataan Imam Ja’far Shadiq.
Pada masa imamah itu (berakhir dengan ghaibnya Imam Mahdi pada tahun 329 H), dalam dunia Syiah praktis tidak ada kehidupan ijtihad, seperti yang dikenal dalam dunia Sunni. Sebab, seperti yang telah disinggung di atas, para imam masih terus membimbing pengikutnya. Orang-orang Syiah tidak perlu harus bersusah payah mencari jawaban sendiri. Para imam selalu siap menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Akan tetapi, segera setelah berakhirnya masa imamah, hiruk pikuk ijtihad seperti yang terjadi dalam dunia Sunni mulai meruak ke dunia Syiah. Maka muncullah tokoh-tokoh seperti Kulaini, Syaikh Shaduq, Ibn ‘Aqil, Junaid, Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, Syaikh Thusi, ‘Allamah Hilli, dan sebagainya. Kendati tumbuh lebih terlambat, akan tetapi praktik ijtihad di duni Syiah boleh dikatakan jauh lebih berkembang ketimbang di dunia Sunni. Sebab, pintu ijtihad tidak pernah ditutup dalam dunia Syiah, sementara praktis sejak abad keenam hijriah, dunia Sunni mengharamkan ijtihad.
Ulama-ulama Syiah sampai kini terus dan dengan bebas mempraktikan ijtihad. Teori-teori baruy, sesuai dengan perkembangan zaman dan pemikiran, selalu muncul. Akhir-akhir ini, misalnya, dunia dikejutkan oleh teori politik wilayat al-faqih yang dikembangkan Imam Khomeini sebagai sistem politik alternatif. Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap teori ini, tapi munculnya teori brilian ini sendiri, dari orang yang dipandang oleh kaum “intelektual” sebagai kaum “tradisional”, menunjukkan adanya dinamika dan perkembangan yang pesat dalam dunia Syiah. Bahkan harus diakui, perkembangan pemikiran fiqih Syiah dewasa ini, ketika ulama-ulama Syiah mendapatkan kebebasan dan kesempatan langsung dan lebih besar setelah mereka memegang pucuk pimpinan pemerintahan di Iran, sangat jauh melompat ke depan dengan sebelumnya. Hampir dapat dipastikan bahwa dari ulama-ulama Syiah ini akan terus muncul gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran yang cemerlang. Ini tidak berarti bahwa di dunia Sunni tidak akan muncul gagasan-gagasan baru seperti yang ada di dunia Syiah. Selama ulama-ulama kita mau dengan serius menangani institusi ijtihad, tidak “malu-malu”, dan mau terbuka, seperti yang ditunjukkan ulama-ulama Syiah, saya kira peluang tersebut sama terbuka bagi kalangan Sunni.
Menarik, bahwa sekalipun di satu sisi pintu ijtihad terbuka selebar-lebarnya, di mana saja boleh berijtihad asal memenuhi syarat ijtihad, di sisi lain ulama-ulama Syiah mewajibkan orang awam bertaklid atau merujuk—beberapa kawan lebih senang menggunakan istilah itiba’ ketimbang taklid dengan alasan adanya konotasi negatif pada istilah taklid pada sebagian pihak, padahal maksudnya sama saja—dalam urusan agama mereka kepada seorang mujtahid yang memenuhi syarat, yang antara lain: seseorang yang masih hidup, diakui kemampuan dan kredibilitas ijtihadnya, adil, ibadah, takwa, wara’, istiqamah, tidak cinta dunia, dan tidak melakukan perbuatan dosa, besar maupun kecil. Syarat taklid kepada mujtahid hidup ini menuntut adanya orang-orang atau institusi yang terus-menerus menangani kebutuhan taklid ini. Dari sini lalu lahirlah apa yang kemudian populer dengan istilah marja’iyyah. Ulama-ulama yang dipilih oleh masyarakat sebagai tempat bertaklid atau ber-itiba’ ini disebut marja’.
Secara tradisional, para marja’ ini, langsung atau tidak langsung, memiliki seperangkat tuntunan kehidupan beragama bagi para penganutnya, yang merupakan hasil ijtihadnya para pelbagai sisi kehidupan, dari persoalan ibadah mahdah sampai persoalan politik. Seperangkat tuntutan beragama ini disebut risalah amaliah. Para mukalid atau penganut pandangan sang marja’, biasanya, selain bertanya langsung kepada sang marja’ atau wakilnya dalam urusan agama yang mereka hadapi, akan merujuk ke risalah amaliah yang dihimpun sang marja’.
Buku yang ada di hadapan Anda ini bukan sebuah risalah amaliah. Penulisnya pun, Ayatullah Syaikh Muhammad  Jawad Mughniyah, sekalipun seorang yang diakui kredibilitasnya dalam ijtihad oleh para pembesar Syiah, bukan seorang marja’. Tapi dia berusaha mengantarkan Anda, melalui argumentasi-argumentasi sederhana yang dikemukakannya, untuk mengetahui fiqih Syiah lebih jauh. Agak sulit mencari kitab fiqih Syiah yang lengkap tapi denga argumentasi sederhana seperti yang ditunjukkan oleh penulis kitab ini. Umumnya kitab-kitab fiqih Syiah yang bersifat argumentatif seperti ini masuk dalam kategori mutawwalat, kitab-kitab besar. Karena itulah kitab ini  terasa amat penting. Tidak hanya bagi orang-orang di luar Syiah yang ingin mengetahui fiqih Syiah, tapi juga bagi orang-orang Syiah sendiri. Saya yakin Anda juga sepakat dengan saya.