EMPIRISME “DAVID HUME”
Makalah
ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum
Dosen
Pengampu : Usman, Dr. , SS.
Disusun Oleh:
·
Waenoful (12410083)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Istilah “empirisme” berasal dari
kata yunani “empiria” yang berarti “pengalaman inderawi”. Empirisme memilih
sebagai sumber utama pengenalan bukan rasio melainkan pengalaman. Dan yang oleh
Empirisme yang dimaksud sebagai “pengalaman” ialah baik pengalaman lahiriah
yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi
manusia.1
Tentang sifat pengenalan manusia,
empirisme bertolak belakang dengan rasionalisme. Menurut rasionalisme
pengenalan yang sejati berasal dari rasio sedangkan pengenalan inderawi
meupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja, sedangkan empirisme
sebaliknya berpendapat bahwa pengetahuan berasal pengalaman, sedangkan
pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Empirisme dirintis oleh Francis
Bacon yang menekankan metode empiris-eksperimental dalam menyelidiki apa yang
bisa diketahui manusia. Setelah Bacon, Hobbes mendasarkan filsafat politiknya
pada penelitian empiris atas motivasi-motivasi manusia yang dibandingkannya
dengan sebuah arloji. Locke membangun epistemologinya dengan didasarkan pada
anggapan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari pengalaman inderawi. Pada
David Hume memuncaknya aliran empirisme.2
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup David Hume ?
2.
Bagaimana pandangan Hume tentang pengetahuan?
3.
Bagaimana pandangan Hume tentang agama?
4.
Bagaimana pandangan Hume tentang etika?
1.
FX. Mudji
Sutrisno & F. Budi Hardiman, Para
filsuf penentu gerak zaman, Kanisius, 1992, Hal.61
2.
Simon Petrus, petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.227
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui riwayat hidup David Hume.
2.
Untuk mengetahui pandangan Hume tentang pengetahuan
3.
Untuk mengetahui pandangan Hume tentang agama.
4.
Untuk mengetahui pandangan Hume tentang etika
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat hidup David Hume
David Hume dilahirkan di kota Edinburg,
Skotlandia pada tahun 1711. Sejak usia muda, ia sangat menggandrungi filsafat,
yang karenanya ia mengorbankan pendalaman ilmu hukum yang sesungguhnya dikehendaki
oleh keluarganya, serta mengorbankan bisnisnya.3
Hume belajar filsafat secara autodidak.
Pada tahun 1734, ia bekerja sebagai juru tulis pada seorang saudagar. Tahun
1734-1737 ia tinggal di Paris, publikasi bukunya gagal, ia pun tak punya
pekerjaan dan pulang ke Inggris. Pada tahun 1744 ia ditolak sebagai profesor
UniversitasEdinburgh karena dianggap ateis dan terlalu liberal. Pada tahun 1763
ia diutus sebagai sekretaris Dubes Inggris ke Paris, menjalin hubungan dengan
para tokoh pencerahan Perancis. Di negara ini ia malah dipuji-puji banyak
orang, namun kemudian ia pulang ke Inggris bersama Rousseau(“aku memutuskan
untuk meninggalkan orang-orang baik itu sebelum mereka meninggalkan aku”).
Hanya beberapa saat di Inggris, Rousseau bertengkar dengannya dan kembali ke
Paris. Pada tahun 1767 ia bekerja sebagai sekretaris di London dan mulai tahun
1769 ia tinggal di kampung halamannya hingga wafat pada tahun 1776. “aku punya
semua alasan untuk mati dengan puas”. Hume hidup membujang sepanjang hidupnya.
Karya-karyanya yang terkenal antara lain : A Treatise on Human Nature (tulisan
tentang kodrat manusia 1738-1740), An Enquiry Concerning Human Understanding
(penyelidikan atas pemahaman manusia, 1748).4
Tak ada yang meragukan bahwa Hume
termasuk orang yang paling dalam dan cermat dalam mengkaji karakter manusia. Hume
boleh bangga karena ialah yang telah membangkitkan Immanuel Kant, seorang
filsuf kritis dan dia pula yang mengarahkannya menulis tiga buku kritisnya.
B.
Pandangan Hume Tentang Pengetahuan
Hume menolak pandangan bahwa manusia
mempunyai pandangan-pandangan bawaan. Kesadaran atau persepsi kita berasal dari
pengalaman. Persepsi tersebut
3.
Dr. Fuad Farid Ismail & Dr. Abdul Hamid Mutawalli, cara mudah belajar
filsafat,ircisod,2003 hal.102
4.
Simon Petrus,
petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.247
menurut Hume
terdiri dari dua unsur, yaitu : yang pertama kesan (impressions), atau apa yang
diperoleh secara langsung dari pengalaman , baik pengalaman lahiriah atau
batiniah, sifatnya jelas, hidup, dan kuat. Misalnya sewaktu tangan saya menyentuh
api, tangan
saya langsung terasa panas. Yang kedua pandanga (ideas) atau hasil asosiasi
atas kesan yang telah kita dapatkan sebelumnya. Dengan demikian pandangan
diperoleh secara tidak langsung dari pengalaman, dan merupakan hasi dari proses
refleksi, berfikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, berfantasi, dan
sebagainya. Pandangan sifatnya kurang jelas dibandingkan dengan kesan.
Contohnya waktu kita terkena api langsung terasa panas, dan setelahnya kita
membayangkan terkena api. Menurut Hume sebagian beasar manusia mendasarkan
pengetahuannya pada pemahaman atau pandangan. Akibatnya, manusia sering kali
menegenali sesuatu secara kabur dan merasa ragu-ragu atas apa yang dikenal dan
diketahuinya. Dengan demikian, menurut Hume kita harus kembali kepada sumber
pengetahuan yang sejati agar ketidakjelasan itu hilang. Artinya, kita harus
mendasarkan pengetahuan kita pada kesan. Setelah itu, kita akan mendapatkan
keyakinan yang bisa kita andalkan dalam proses pengetahuan. Keyakinan ini
dinamakan sebagai “kepercayaan”. Kita percaya bahwa pengalaman akan membawa
kita pada pengenalan yang sejati.5
Bagian terpenting dari seluruh treatise
adalah sub-bagian dari pengetahuan dan probabilitas. Yang dimaksud hume dengan
probabilitas bukanlah sejenis pengetahuan yang terdapat dalam teori
probabilitas matematika, misalnya peluang untuk membuang dua angka enam dengan
dua dadu adalah tigapuluh per enampuluh. Pengetahuan ini tidak dengan
sendirinya bersifat mungkin dalam pengertian apapun. Ia memiliki kepastian
sebagaimana yang dimiliki pengetahuan. Yang menjadi perhatian Hume adalah
pengetahuan tak pasti, misalnya yang didapat dari data empiris dengan
penyimpulan yang demonstratif. Ini mencakup pengetahuan kita mengenai masa
depan, dan mengenai bagian tak teramati dari masa lalu dan masa kini. Ini
bahkan mencakup segalanya kecuali, di satu sisi, pengamatan langsung dan di
sisi lain logika dan matematika. Analisis mengenai pengetahuan mungkin itu
menggiring Hume pada simpulan skeptis tertentu, yang sulit untuk di tolak
ataupunn diterima.5
5.
Bertrand Russell.Sejarah filsafat
barat kaitannya dengan sosio politik zaman kuno hingga sekarang..pustaka
pelajar.2007.Hal.868
Menurut Hume bahwa semua gagasan kita
disalin dari kesan yang kita dapatkan. Tiga hubungan yang tidak hanya
bergantung pada gagasan adalah jati diri, hubungan ruang-waktu dan sebab
akibat(kausalitas). Pada dua hubungan yang pertama, pikiran tidak melampaui apa
yang segera muncul dalam indera. Hubungan ruang dan waktu menurut Hume dapat
dipersepsi dan dapat membentuk bagian-bagian kesan. Hubungan sebab akibat ialah
jika suatu gejala tertentu selalu disusul dengan gejala lain, dengan sendirinya
oleh gejala yang sebelumnya. Misalnya batu yang terkena sinar matahari selalu
panas. Kita menyimpulkan, batu menjadi panas karena disinari matahari. Tetapi
kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberikan
urutan-urutan gejala-gejala, tetapi tidaklah memperlihatkan urutan
sebab-akibat.6
C.
Pandangan Hume Tentang Agama
Hume juga mengambil sikap skeptis
terhadap agama. Pertama ia menganggap deisme yang berkembang pada zaman
pencerahan, sebagai kepercayaan naif. Ajaran deisme tentang Allah sebagai
tukang arloji yang telah menciptakan jagad raya ini secara sempurna menurut
prinsip-prinsip mekanistik, misalnya ditolak Hume kita tidak mengetahui apa pun
tentang prinsip kausalitas yang diandaikan dalam kepercayaan tersebut (hubungan
eksistensi Allah dan jagad raya sebagai hubungan sebab-akibat).7
Pernyataan Hume tentang teori
kausalitas ini sangat berpengaruh bagi perkembangan pemikiran filsafat dan
keagamaan di Barat. Dengan penolakan terhadap teori kausalitas. Hume
melanjutkan menghujat argumen ontologis dan kosmologis tentang keberadaan Tuhan
dan sekaligus membatasi kemampuan akal. Munculnya positivisme diwarnai oleh ide
David Hume, bahkan materialisme bisa dikatakan sebagai puncak dari empirisme.
Para filsof sebelum Hume percaya bahwa alam adalah akibat dan Tuhan adalah
sebab alam. Menurut kategori logika, keberadaan sebab lebih wajib dibandingkan
keberadaan akibat dan sebab lebih dahulu dibanding akibat. Karena itu, Tuhan
sebagai sebab wajib ada dan mendahului alam, sedangkan alam sebagai akibat
mungkin adanya dan setelah Tuhan. Argumen ini tetap dipegan oleh filsof sampai
Hume. Hume yang memulai menggugat dalil tersebut dengan menjungkirbalikan teori
kausalitas.
6.
FX. Mudji
Sutrisno & F. Budi Hardiman, Para
filsuf penentu gerak zaman, Kanisius, 1992, Hal.62
7.
Simon Petrus,
petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.250-251
Menurut Hume, ketika kita percaya
kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini, kita berhadapan dengan dilema. Kita
berpikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing-masing, sedangkan itu hanya
setumpuk persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat
mengatakan Tuhan itu maha sempurna dan maha kuasa sedangkan di alam terjadi
kejahatan dan berbagi bencana. Lebih lanjut Hume juga berkomentar, tidak ada
bukti yang dapat dipakai untuk membuktikan bahwa Allah itu ada dan bahwa ia
menyelenggarakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jika tidak dapat mati. Dalam
praktek orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap
pasti, sedangkan akal tidak bisa membuktikannya. Menurutnya banyak sekali
keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak
berguna bagi hidup. Agama demikian Hume, di sebabkan karena penyelewengan wahyu
yang asli, yaitu dari monoteisme ke politeisme dan bukan juga dari olteisme ke
monoteisme. Tetapi agama berasal dari penghargaan dan ketakutan manusia
terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia mengangkat berbagai
dewa untuk disembah.
Dalam hal agama Hume kelihatan sangat
kriris dan kalau ditarik dari jalur empirismenya, dia lebih konsisten darpada
Lock dan Berkeley. Hume meragukan eksistensi Tuhan karena tidak ada argumen
yang kuat untuk membuktikan adanya Tuhan baik secara a posteriori maupun a
priori. Dia juga menolak mukjizat sebagai slah satu dari dasar agama.
Menurutnya agama berasal dari hal yang takhayul.
Kritik Hume terhadap agama tampaknya
tidak seluruhnya dapat dipertanggungjawabkan. Hume terlalu tergesa-gesa
mengambil kesimpulan tentang teologi, diantara kritikan Hume yang tidak releva
ialah:
-
Hume cenderung menentang dua bentuk teisme yang monopolar dan mengabaikan
sintesis dipolar. Dalam hal ini ada dua pola, yaitu mistisisme dan
antropomorisme.
-
Hume mengabaikan peranan akal dalam menangkap realitas. Padahal akal mampu
menghubungkan kejadian-kejadian yang lampau dengan yang sekarang dan bahkan meramalkan sesuatu untuk yang akan
datang
-
Hume terlalu meredusir semua realitas dalam kajian empiris, sehingga dia
terjerumus pada determinisme empiris. Skeptisisme Hume terhadap agam juga
berdasarkan atas determinimismenya yang kaku ini. Alam empiris terwujud dari
dua hal yang saling bergantian yaitu kebaikan dan bencana/kejahatan.8
8.
Amsal Bahtiar.Filsafat Agama.Logos wacana
ilmu.1997.Hal.108-114
D.
Pandangan Hume Tentang Etika
Sesuai dengan sikapnya yang empiristis,
Hume mendasarkan ajarannya tentang etika yang berawal dari fakta-fakta dan
pengamatan empiris, yakni pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Dalam
bidang moral, rasio dan kehendak memang berperan penting, namun yang paling
penting menurut Hume adalah perasaan moral (moral sentiment). Bagi Hume masalah
bail/buruk tidak dianggap objektif atau terlepas dari sikap kita, melainkan
merupakan bagian dari perasaan subyektif kita. Berdasarkan hal tersebut, Hume
menolak etika normatif yang menunjukkan kepada kita perbuatan apa yang wajib
atau voleh kita lakukandan mana yang tidak. Moralitas adalah maslah perasaan.
Perasaan bisa atau tidak ada. Bagi Hume, prinsip pokok bagi suatu tindakan yang
dinilai baik adalah kalau tindakan itu menyenangkan atau berguna bagi kita atau
bagi banyak orang. Dari sini selanjutnya bisa di bedakan secara umum ada empat
sikap positif dalam etika menurut Hume, yaitu:
-
Sikap yang menyenangkan kita sendiri : kegembiraan, kebesaran jiwa,
ketenangan dan sebagainya,
-
Sikap yang menyenangkan orang lain : tahu diri, sopan, humor
-
Sikap yang berguna bagi diri sendiri :keinginan yang kuat, rajin, hemat,
kekuatan fisik, dan kecerdasan,
-
Sikap yang berguna bagi masyarakat: kebaikan hati dan keadilan.
Menurut Hume, yang mendorong manusia
melakukan tindakan yang positif adalah bukan rasio melainkan oleh perasaan
moral. Dengan rasio kita memang dapat mengetahui apa yang bisa kita lakukan
yntuk mendapatkan kesenangan, namun yang mengemudikan tindakan kita ke arah
tersebut adalah perasaan moral kita yang bekerja secara subyektif berdasarkan
prinsip cinta diri(untuk tindakan yang menyenangkan dan berguna bagi diri
sendiri) dan simpati (uuntuk tindakan yang menyenangkan dan berguna bagi orang
lain). Disini dapat kita lihat, etika Hume berbeda dengan aliran hedonisme
egoistik yang mengajarkan agar oranga mencari kesenangan sebanyak-banyaknya
untuk diri sendiri. Ajaran Hume mengandaikan bahwa manusia secara kodrati
merupakan mahluk sosial, sehingga ia sanggup memberikan perasaan simpati
terhadap sesamanya secara spontan. Dengan rasa simpati tersebut, manusia akan
merasa bahagia bila orang lain juga merasa bahagia, dan sebaliknya, ia akan
merasa sedih bila orang lain sedih. Rasa simpati ini juga mendorong kita untuk
mengusahakan kesejahteraan umum dan keadilan sebagai perlindungan terhadap hak
kita masing-masing.
Menurut Hume, manusia memilki
kebebasan. Namun kebebasan secara negatif dan logis. Kebebasan adalah tidak
adanya kendala-kendala dari luar terhadap keinginan-keinginan manusia.
Seseorang di sebut bebas bila ia bisa mengikuti gerakan perasaan dan keinginannya,
atau bila ia tidak di hambat oleh faktor-faktor dari luar. Dengan kata lain
kebebasan adalah spontanitas.9
9.Simon Petrus,
petualangan intelektual, Kanisius, 2004, hal.252-253
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mengenai pengetahuan, menurut Hume,
Kesadaran atau persepsi kita berasal dari pengalaman. Persepsi tersebutterdiri
dari dua unsur, yaitu : yang pertama kesan (impressions), atau apa yang
diperoleh secara langsung dari pengalaman , baik pengalaman lahiriah atau
batiniah, sifatnya jelas, hidup, dan kuat. Menurut Hume sebagian besar manusia
mendasarkan pengetahuannya pada pemahaman atau pandangan. Akibatnya, manusia
sering kali menegenali sesuatu secara kabur dan merasa ragu-ragu atas apa yang
dikenal dan diketahuinya.
Hume juga mengambil sikap skeptis
terhadap agama. Dalam praktek orang-orang yang beragama selalu mengikuti
kepercayaan yang dianggap pasti, sedangkan akal tidak bisa membuktikannya.
Menurut Hume banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak
berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama demikian Hume, di sebabkan
karena penyelewengan wahyu yang asli, yaitu dari monoteisme ke politeisme dan
bukan juga dari olteisme ke monoteisme.
Sesuai dengan sikapnya yang empiristis,
Hume mendasarkan ajarannya tentang etika yang berawal dari fakta-fakta dan
pengamatan empiris, yakni pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Dalam
bidang moral, rasio dan kehendak memang berperan penting, namun yang paling
penting menurut Hume adalah perasaan moral (moral sentiment). Bagi Hume masalah
bail/buruk tidak dianggap objektif atau terlepas dari sikap kita, melainkan
merupakan bagian dari perasaan subyektif kita.
DAFTAR PUSTAKA
·
Petrus,Simon. Petualangan Intelektual.
Yogyakarta: Kanisius, 2004
·
Mudiji, Sutrisno & Hardiman,Budi. Para
Filsuf Penentu Gerak Zaman.Yogyakarta: Kanisius,1992.
·
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama.
Yogyakarta: Kanisius,1992.
·
Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat
Barat (kaitannya dengan sosio politik zaman kuno hingga sekarang).
Yogyakarta: pusataka pelajar, 2007.
·
Ismail, Fuad Farid & Mutawali, Abdul Hamid. Cara Mudah Belajar Filsafat. Yogyakarta: Ircisod, 2012.